LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL RI - UNIVERSITAS GAJAH MADA
SEKOLAH PASCASARJANA

TUGAS
ETNISITAS DAN MULTIKULTURALISME
DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Irwan Abdullah
PROGRAM STUDI : KETAHANAN NASIONAL
Oleh :
SUPRIYADI SLAMET
NIM : 082/278219/PMU/5775
Dalam tugas ini mahasiswa diminta untuk memberikan jawaban tentang Pendekatan Ethnicity dilihat dari beberapa penomena yaitu ;
1. Ethnicity dipandang sebagai Fenomena Primordial;
Dikatakan bahwa kelompok etnis dipandang sebagai perbedaan dalam kebudayaan, dimana kelompok memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda, hal ini didapat secara alamiah dan original yang sejak lahir telah ada dan diturunkan dari generasi ke generasi, perbedaan antar kelompok dapat dinilai akibat dari perbedaan letak geografis dan akibat terjadinya isolasi/pengasingan diri dari kelompok lain sehingga setiap kelompok dapat dilakukan menjadi suatu penelitian dengan cara terpisah dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Seperti yang dituliskan oleh Barth (1969:11) :”Setiap kelompok mengembangkan bentuk sosial budaya yang terisolasi secara relatif, terutama sebagai respons terhadap faktor-faktor ekologis.”
Sebagai pandangan dan contoh dari yang ada dan terjadi dengan pendekatan fenomena primordial, kita lihat berbagai fakta menunjukkan bahwa rakyat ingin mempunyai keleluasaan untuk mengatur dan menentukan sendiri kehidupan daerah masing-masing. Rakyat memperoleh hak daerahnya yang selama ini dikontrol dan diambil oleh pemerintah pusat terutama penerimaan dari kekayaan sumber daya alam daerah. Pemekaran pemerintahan daerah diharapkan akan lebih mensejahterakan daerah yang mempunyai sumber daya alam berlimpah, namun pemerintah pusat juga siap membantu daerah yang kekurangan sumber daya alam dengan Dana Perimbangan.
Tuntutan separatisme terutama muncul akibat dari ketimpangan pendapatan daerah sehingga mengakibatkan pudarnya rasa nasionalisme di wilayah tersebut. Sebagai contoh, Provinsi Irian Jaya Barat yang dimekarkan dari Provinsi Papua adalah semata-mata agenda pemerintah pusat untuk melawan separatisme di provinsi paling timur di Indonesia. Contoh lain adalah upaya pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan untuk menangani masalah separatisme yang ditengarai oleh Gerakan Aceh Merdeka, dan ternyata upaya yang datangnya secara original akan memperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok primordial sebab fenomena primordial sangat menjaga kredibiltas kekuatan kelompoknya agar tetap eksis dan tidak terkontaminasi isu buruk kelompok lain.
2. Pada pendekatan Epifenomena,
Fenomena ini umumnya bersifat sekunder sebagai hasil dari adanya unsur dan faktor lain [sesuatu yang kita pikirkan ada pada kenyataannya tidak ada]. Etnisitas dibentuk dan dipelihara oleh adanya kepentingan ekonomi atau suatu produk eksploitasi ekonomi. Pembentukan solidaritas pada kelompok minoritas/etnisitas memperkuat kelompok dan membantu melestarikan kebudayaan mereka.
Contoh yang paling mengemuka pada saat ini adalah pandangan umum masyarakat Indonesia terhadap cerita seorang Cinderela Indonesia yang bernama Manohara Pinot [gadis berdarah ibu Indonesia asli dengan ayah WN. Perancis] yang dinikahi oleh seorang putra dari kerajaan Kelantan Malaysia, siapapun orang akan memberikan komentar “beruntung sekali model Indonesia mendapat suami seorang pengeran dari salah satu kerajaan di Malaysia” secara umum orang memandang dan melihat bahwa Manohara hidup penuh dengan gelimang harta dan sudah pasti berbahagia, masyarakat merasa sangat ingin apabila memungkinkan dan Tuhan Yang Maha Esa menghendaki putra/putrinya menjadi menantu dari orang-orang penting seperti keberuntungan yang didapat oleh Manohara Pinot tersebut, yaitu menjadi bagian keluarga dari kerajaan yang ada di Malaysia.
Namun nasib berkata lain, apa yang dibayangkan putri Cinderela produk dan keluaran Indonesia ini ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada pada pandangan masyarakat Indonesia, Manohara yang cantik jelita dan masih sangat belia [16 tahun saat dinikahi pada bulan Agusutus tahun 2008] bak bidadari yang turun dari Kahyangan ternyata selama masa perkawinannya tidak merasakan kebahagiaan bahkan sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan [kekerasan dalam rumah tangga]. Bahkan pihak keluarga Manohara [ibu dan kakak kandung] untuk masuk ke Malaysia mendapat pencekalan oleh imigrasi, betapa menderitanya kehidupan seorang model cantik tetapi hidupnya tidak dapat bebas dan merdeka untuk menghirup udara segar di luar komplek Istana raja Kelantan. Kita seharusnya semakin sadar diri bahwa negara tetangga satu ini yang selalu mengaku serumpun Melayu dengan Indonesia ternyata memiliki epifenomena, sangat tidak berperikemanusiaan dan begitu biadab terhadap bangsa kita disana dari yang bekerja sebagai TKW, pelajar atau profesi-profesi lainnya. Mengharukan, mamalukan dan memilukan sebagai bangsa bermartabat dan bangsa yang besar.
3. Fenomena Situasional,
Pada fenomena ini suatu etnisitas selalu didasarkan kepada teori pilihan secara rasional, sehingga dianggap relevan apabila dilakukan hanya pada suatu situasi saja dan tidak untuk situasi yang lain. Faktor individu sangat dominan dengan bebas memilih menjadi anggota suatu etnis jika dipandang itu menguntungkan bagi mereka dan dilihat dari kacamata politis maka fenomena situasional menjadi suatu bentuk keuntungan politis, sumber tidak dapat dimobilisasi dalam keuntungan anggota etnis.
Fenomena situasional memang menarik untuk diperbincangkan, kasus yang dapat dikupas untuk menelaah keadaan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut ; sejak dilahirkan sebagai suku Sunda sudah sepantasnyalah orang tua akan memberikan nama yang sesuai dengan nama Sunda “Asep” . Setelah kuliah Si Asep yang asli Sunda ini setiap bergaul selalu mencari kelompok suku Batak menurutnya ingin merubah segala perilaku, penampilan sebagai orang Batak. Untuk memuluskan aksinya si Asep biasa dipanggil oleh teman Bataknya dengan nama Bonar, budaya orang Batak yang senang melantunkan lagu-lagu Asepun tidak melepaskan kesempatan ini untuk belajar bernyanyi, logatpun sudah berubah menjadi logat “horas bah”. Akibat dari kebiasaan yang telah berjalan cukup lama dan memang hal ini keinginan secara pribadi Asep yang begitu kuatnya ingin menjadi Etnis Batak, maka tidak sia-sia usaha dan pengorbanannya menjadi Bonar dan menghilangkan segala identitas yang berbau Asep.
Sangat banyak kasus Asep-Asep lain yang melaksanakan fenomena bahkan dalam bentuk model dan konteks berbeda hal ini dapat berlangsung mengingat adanya keragaman etnis/suku yang ada di Bumi Nusantara. Pada konteks kebudayaan, fenomena situasional semacam ini tidak mempengaruhi tingkat kepatutan sebagai etnis dan tidak mungkin Asep dicap sebagai pembelot, dalam sosial budaya proses semacam ini cukup relevan dan memang seharusnya terjadi, terutama bagi bangsa yang memiliki beragam etnis seperti Indonesia. Fenomena situasional menjadi pengayaan khasanah bangsa dalam menciptakan unsur-unsur budaya lokal yang terbarui/sustainability, sehingga tingkat kebudayaan negara Indonesia memilki kekayaan budaya yang unik dan menjadi perhatian bangsa lain untuk melihat secara langsung ke Indonesia.
4. Fenomena Subjective,
Seperti diungkapkan oleh Frederick Barth (1969) mempercayai bahwa etnisitas merupaka hasil hubungan-hubungan antara kelompok dimana batas-batas kelompok dibangun atas persepsi bersama bukan atas dasar/ukuran objektif.
Pada kasus ini penulis mencoba mengambil berdasarkan pendekatan simbolik, dimana sebagai alat identifikasi yang memperlihatkan bagaimana seseorang/kelompok orang tergabung atau terasimilasi. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia proses demokrasi yang direalisasikan dengan pelaksanaan pemilihan umum, mereka hanya tahu bahwa nama partai Golongan Karya itu bernomor urut 2 (dua), menurut pandangan mereka Partai Golkar dengan simbol gambar pohon beringin yang kokoh [waktu rezim orde baru telah terbukti 32 tahun tetap kokoh berdiri] namun pada saat ini bagian akar-akarnya telah banyak digerogoti oleh tikus-tikus politik sehingga menjadi mudah goyah apabila tertiup angin.
Pada pemilu yang dilaksanakan di tingkat desa pada tahun 2004 setiap warga apabila ditanya secara pribadi :” bapak dalam Pemilu ini pilihan yang paling tepat apa toh?”. Iseng-iseng penulis menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. “ne’ kulo milih nomer kaleh [maksudnya nomor 2) Golkar toh?” jawab nya. Padahal pada Pemilu tahun 2004 jumlah partai berdasarkan persetujuan Undang-undang terdiri dari 48 partai, sedangkan berdasarkan undian Golkar sudah tidak lagi jatuh pada nomor urut 2 (dua), sehingga Fenomena simbolik selalu akan menguntungkan kelompok yang justru bukan menjadi simbol.
Demikian pula masyarakat Yogyakarta begitu mengidolakan Amien Rais sebagai simbol pimpinan partai PAN. Masyarakat hanya tahu siapa sosok Amien Rais tetapi mereka tidak tahu partai apa yang menjadi tempat wadah/organisasinya. Kenyataan yang terjadi hasil akhir Pemilu tahun 2004 yang mengungguli partai PAN adalah partai Islam PPP (P3), karena menurut masyarakat Yogya simbol Ka’bah adalah partai yang dipimpin oleh Amien Rais sehingga partai PAN menjadi korban akibat fenomena simbolik dan yang diuntungkan tentu saja partai PPP yang menang di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari partai PAN.
