Kamis, 10 Juli 2008

Makalah Seminar Nasional

Penataan manejemen pertahanan dan keamanan negara menuju Negara Modern[1]

Oleh : DR. Kusnanto Anggoro[2]

Penataan manajemen “pertahanan dan keamanan negara” merupakan pengorganisasian segenap format (struktur dan fungsi) penyelenggaraan pemerintahan untuk mempertahankan dan melindungi “kepentingan dan tujuan nasional” negara itu. Dalam konteks seperti itu, globalisasi telah membawa sejumlah tantangan baru, baik dari sisi ancaman yang dihadapi maupun bagaimana menghadapinya. Kerangka teoretik dan pewacanaan tentang apa yang disebut sebagai ancaman itu sendiri mengalami multidimensionalisasi karakter, proliferasi jenis dan deteritorialisasi sumber. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maupun, interdependensi dalam kehidupan antar-negara, dan liberalisasi hubungan internasional menimbulkan kontraksi terhadap batas-batas negara nasional. Dalam suasana seperti itu dapat dipastikan jika negara menanggung beban yang semakin berat. Negara modern, sebagai penyelenggara otoritas negara yang dibangun berdasarkan spesialisasi fungsi dan diferensiasi struktur, bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip dan praktek (practices) pemerintahan demokratik (democratic government), dan mengabdi untuk kepentingan publik (masyarakat) maupun kepentingan negara itu sendiri menghadapi tantangan serius dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional (national security policy).

Globalisasi, negara teritorial dan keamanan nasional

Globalisasi dan keamanan mempunyai relasi yang amat kompleks. Ancaman bukan hanya ancaman militer tetapi juga non-militer; tidak hanya berasal dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri; tidak saja dilakukan oleh pelaku negara, tetapi juga non-negara. Sebab itu globalisasi dan ancaman mempunyai relasi yang kompleks dan meliputi spektrum continuum external-internal, militer-nonmiliter, negara-nonnegara. Watak perang menjadi semakin total (total war). Peperangan fisik bisa saja berubah menjadi non-attritive atau decisive-war atas sasaran-sasaran strategis (center of gravity) dan oleh sebab itu diperlukan postur pertahanan yang lebih ramping. Namun beragam ancaman non-konvensional mungkin justru menyebabkan kemungkinan perampingan postur itu perlu dibarengi dengan penggunaan teknologi dan pelaksanaan fungsi-fungsi intelijen militer sekalipun bisa jadi tidak dalam kerangka persiapan operasi militer.

Faktor teknologi dan kemudahan perpindahan aktor (population movements) secara langsung membawa implikasi pada konstraksi tapalbatas (fisik maupun non-fisik, atau dalam terminologi politik, kedaulatan teritorial dan kedaulatan otoritatif). Ceteris paribus, tantangan konstraksi tapalbatas itu membawa konsekuensi pada menyusutnya waktu-tanggap (time response), peringatan dini (early warning) sehingga oleh karenanya meniscayakan kesiagaan (readiness) untuk setiap saat dapat menghadapi eskalasi. Kesiagaan dan kapasitas (capability) menjadi kunci bagi negara untuk dapat menunaikan fungsinya sebagai otoritas yang efektif (effective state).

Selain itu, perlu diingat bahwa perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh negara-bangsa, ancaman terhadap keamanan nasional, berasal bukan hanya dari sesuatu yang memiliki dimensi teritorialitas (eksternal, internal) dan dilakukan oleh pelaku yang terorganisasi (negara maupun non-negara), tetapi juga dari non-territorial, non-organised actors. Kategori yang disebut pertama dapat melliputi bukanhanya invasi dan agresi dari negara lain, tetapi juga terorisme dan berbagai bentuk kejahatan terorganisasi (organized crimes). Kategori yang disebut belakangan dapat meliputi beberapa bentuk ancaman, antara lain epidemi dan bencana alam.

Format pertahanan dan keamanan negara yang ideal, dalam suasana seperti itu, disusun dengan memperhitungkan beberapa hal. Pertama adalah adanya kebijakan komprfehensif. Ruang lingkup referent object meliputi keutuhan wilayah, otoritas negara, dan keselamatan warganegara. Masih dapat diperdebatkan bagaimana memasukkan referent objects tersebut ke dalam rumusan-rumusan yang lebih kategoris. Salah satu persepektif menawarkan rumusan itu untuk meliputi, misalnya, pertahanan [eksternal], keamanan negara, keamanan publik, dan keamanan insani (human security).[3] Perspektif lain mengidentifikasinya menjadi keamanan luar negeri, keamanan penyelenggaraan fungsi pememrintahan dalam negeri, keamanan publik dan keamanan insani.

Kedua, seperti bidang penyelenggaraan pemerintahan yang lain, kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan negara tidak terlepas dari keharusan untuk memenuhi kriteria tertentu. Segenap bagian dari hirarki kebijakan demokratik mulai dari pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, sampai pelaksana kebijakan harus memenuhi beberapa prinsip, antara lain akuntabilitas, transparensi dan partisipasi publik dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, peaceful resolution of dispute. Ini terutama terkait dengan normalcy (situasi damai atau genting) yang ditetapkan berdasarkan keputusan politik. Khususnya kebijakan di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang pelaksanaannya dapat menggunakan instrumen koersif (hukum ataupun senjata), strategi penanganan ancaman terhadap keamanan nasional harus dilakukan sesuai dengan norma-norma hubungan internasional, khususnya yang terkait dengan prinsip-prinsip un-necessary suffering, proportionalitas atau yang lain yang kerap digunakan sebagai pijakan penggunaan instrumen koersif.

Konsekuensi dari kompleksitas globalisasi itu bermuara pada keharusan untuk membangun format kebijakan komprehensif di bidang keamanan nasional. Namun perlu dicatat bahwa komprehensi itu tidak boleh dikacaukan dengan totalitas keamanan sektoral yang dalambeberapa tahun belakangan ini juga muncul dalam berbagai istilah seperti keamanan ekonomi (economic security), keamanan lingkungan (environment security), keamanan kesehatan (health security) dan keamanan energi (energy security). Kecuali sudah hampir membawa konsekuensi fisik, ancaman-ancaman sektoral tersebut tetap berada dalam ranah tanggungjawab departemen fungsional.

Ancaman terhadap keamanan nasional dan strategi terdiferensiasi

Menjadi persoalan semantik apakah kemudian akan digunakan istilah ”keamanan nasional” atau ”pertahanan keamanan negara”.[4] Dengan pendefinisian yang memadai tidak pula tertutup kemungkinan untuk menafsirkan ”pertahanan dan keamanan negara” sebagai istilah lain bagi keamanan nasional ataupun pertahanan keamanan negara. Atribusi ancaman yang dapat dikategorikan sebagai tantangan terhadap keamanan nasional adalah segala sesuatu yang dapat membawa konsekuensi kerugian fisik atau mengandung dimensi [kemungkinan penggunaan] tindak kekerasan maupun yang melumpuhkan critical infrastructure khususnya di bidang pertahanan dan perekonomian.

Perdebatan yang berlangsung dalam beberapa tahun belakangan ini tidak lagi berkisar pada perlu atau tidaknya kebijakan komprehensif di bidang keamanan nasional, melainkan tentang bagaimana komprehensi kebijakan itu dapat dituangkan ke dalam kebijakan pengelolaan, strategi pengelolaan, dan strategi operasionalnya. Rumusan-rumusan yang sering dibicarakan di berbagai forum cemderung memberi label ”komprehensif” pada kebijakan maupun strategi. Akibatnya muncul istilah kebijakan komprehensif dan/atau strategi komprehensif yang memang dapat digunakan pada tingkat nasional (pemerintah, presiden, kabinet) tetapi tidak dapat digunakan pada tataran pengelolaan fungsional (departemen pemerintahan), apalagi pada tataran pelaksanaan di kalangan instansi pelaksana seperti TNI dan POLRI. Lazimnya, instansi-instansi pelaksana seperti itu harus menggunakan istilah strategi operasional.

Oleh sebab itu, perwujudan kebijakan komprehensif ke dalam strategi operasional tampaknya bersifat diferensiatif. Diferensiasi itu diperlukan karena beberapa pertimbangan. Pertama, ancaman dapat saja menimpa seluruh atau hanya beberapa dari referrent object (keutuhan wilayah, kedaulatan, dan keselamatan segenap bangsa). Namun perlu diingat bahwa invasi dari luar, misalnya, merupakan ancaman terhadap wilayah dan otroritas negara tetapi belum tentu terhadap warganegara. Sebaliknya, epidemi dan bencana alam merupakan ancaman terhadap warganegara tetapi tidak serta merta menjadi ancaman terhadap otoritas negara dan bukan merupakan ancaman terhadap wilayah negara. Sementara itu, ancaman terhadap critical infrastructure merupakan ancaman yang tidak mengacnam wilayah, dan sulit begitu saja dimaksukkan dalam kategori kedaulatan ataupun menimbulkan dampak langsung terhadap keselamatan segenap bangsa, namun dapat melumpuhkan fungsi normal penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, sekuritisasi harus dihindari. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara dan/atau terhadap critical infrastructure, khususnya di bidang pertahanan dan perekonomian negara. Kriteria dampak memperhitungkan kerugian fisik (wilayah, kedaulatan negara) dan/atau potensi terhadap pelumpuhan fungsi pemerintahan normal. Di antara keduanya harus ada kesepakatan dasar bahwa isu keamanan hanya akan ditangani oleh aktor militer dan polisi jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan. Hanya otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk memutuskan gradasi ancaman seiring dengan eskalasi itu. Ketiga, harus ada kejelasan antara upaya yang ditempuh dengan tujuan yang hendak dicapai. Strategi nasional harus merujuk upaya-upaya itu secara menyeluruh, misalnya rentangan yang mencakup beberapa sekuens, mulai dari pencegahan hingga penindakan. Tujuan yang hendak dicapai dari setiap upaya itu perlu dirumuskan secara jelas. Untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi seperti itu, negara yang efektif dan responsive, harus membangun kemampuan nasional yang dapat menunaikan fungsi tanggapan dini, pencegahan dini, penindakan, dan khususnya pada masa pasca-ancaman melakukan pemulihan (stabilisasi, rehabilitasi serta rekonstruksi). Instrumen bisa merentang dari keijakan pemerintahan secara sektoral, politik dan diplomasi, counter-intelligence, penegakan hukum, operasi militer. Keempat adalah perlunya kejelasan tanggungjawab politik maupun operasional penyelenggara. Indonesia selama ini mengenal istilah darurat sipil, darurat militer dan darurat perang – istilah yang tampaknya disusun berdasarkan kewenangan institusional, mulai dari penyelenggara pemerintah secara normal, penegakan hukum, hingga operasi militer. Status pemerintahan berdasarkan pada ancaman terhadap keaamanan insani, misalnya yang terjadi karena bencana alam dan epidemi. Tindakan darurat baru dapat dilakukan jika bencana itu dianggap mengganggu fungsi pemerintahan normal. Mungkin perlu ditambahkan tentang darurat bencana untuk merangkum ancaman epidemik dan/atau bencana alam. Tertib sipil, istilah yang sering digunakan di berbagai kesempatan tetapi tidak memiliki rujukan hukum, perlu didefinisikan sebagai keadaan normal.

Pengelolaan pertahanan keamanan negara secara demokratik

Makalah ini tidak ingin memasuki ranah perdebatan tentang apa yang dimaksud dengan negara modern. Berbagai kajian sebelumnya juga tidak menggunakan istilah yang sama.[5] Istilah negara modern mungkin cukup memadai jika ditafsirkan untuk kepentingan praktis sebagai negara demokratik, negara yang bukan hanya hirau tentang keselamatan wilayah dan otoritas negara tetapi juga kepentingan warganegara; Negara modern, dalam konteks pertahanan dan keamanan negara, adalah negara yang bertumpu pada kebijakan komprehensif tetapi melaksanakannya secara terukur, terarah dan terkendali baik dari segi sumberdaya, instrumen, maupun implikasi dan akibat dari perbuatannya. secara managerial, negara modern merupakan negara yang bukan hanya efektif (effective state) tetapi juga sekaligus negara yang tanggap (responsive states).

Untuk memenuhi keniscayaan tersebut perlu diperhatikan beberapa prinsip. Pertama, adalah diferensiasi struktur sebagai mekanisme pengaturan kelembagaan untuk membangun kebijakan yang memadai dan sekaligus juga menjamin pertanggungjawaban politiknya . Diferensiasi struktur seperti itu pada umumnya muncul dalam bentuk pembagian kewenangan fungsional antar departemen pemerintahan yang masing-masing bertanggungjawab untuk sektor kebijakan tertentu. Mereka memiliki kewajiban untuk merumuskan kebijakan di bidang pembinaan, pengembangan dan penggunaan sumberdaya di lingkungan mereka. Departemen-departemen pemerintahan yang merupakan inti dari kebijakan pertahanan dan keamanan negara adalah departemen dalam negeri, departemen luar negeri dan departemen pertahanan.

Pada tataran operasional, diferensiasi fungsi kebijakan itu muncul dalam bentuk spesialiasi fungsi operasional, sebagai prinsip kedua. Pada umumnya spesialisasi fungsi operasional ini muncul dalam bentuk instansi-instansi pelaksana kebijakan seperti BIN, POLRI, TNI. Mereka adalah instansi yang memiliki kompetensi untuk menggunakan instrumen khusus untuk menjalankan kewajibannya, misalnya analisa intelijen (BIN), hukum (POLRI), dan senjata (TNI). Pimpinan instansi pelaksana bertanggung jawab untuk menentukan strategi dan taktik operasi pelaksanaan itu. Kalaupun dalam melaksanakan tugas operasional itu mereka melakukan beberapa fungsi taktis (operasi intelijen, operasi penegakan hukum, operasi militer) harus dalam bingkai tujuan terbatas seperti peringatan dini, tempur, penegakan hukum, dan tempur. Sebab itu dapat dibedakan antara fungsi operasi peringatan dini yang dilakukan oleh, misalnya Departemen Dalam Negeri atau BIN. Begitu pula halnya dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi pamong praja, POLRI atau TNI.

Prinsip ketiga adalah pertanggunggugatan atas anggaran, pemanfaatan sumberdaya nasional, dan kinerja instansional dalam melaksanakan tugasnya. Pertanggunggugatan tersebut meliputi pertanggunggugatan di bidang anggaran, kebijakan, penggunaan sumberdaya dan profesionalisme aparat pelaksana sesuai dengan beberapa ukuran, misalnya koherensi (kebijakan), efisiensi (alokasi dan penggunaan anggaran), dan/atau hukum internasional maupun etika profesi. Untuk memenuhi keharusan tersebut perlu dibangun mekanisme pengawasan (oversights) dan/atau kendali (control) yang tidak hanya bersifat internal tetapi juga eksternal. Barangkali dapat dipertimbangkan mekanisme anggaran khusus, berbeda dari struktur program anggaran pada situasi normal, untuk menyeimbangkan kebutuhan operasi aktor keamanan untuk menggelar operasi secara cepat dengan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas alokasi dan penggunaan anggaran.

Penyelenggaraan sistem keamanan nasional

Sistem keamanan nasinoal merupakan keseluruhan dari struktur yang mengemban fungsi-fungsi tertentu (specific) berdasarkan tatakerja yang baku, reguler, dan terencana secara rinci yang memungkinkan negara untuk secara sah menggunakan instrumen koersif secara sistematik dan terorganisir. Dengan demikian, sistem keamanan nasional digunakan oleh negara untuk mengatasi ancaman-ancaman pertahanan negara dan/atau keamanan dalam negeri yang nyata-nyata atau potensial melibatkan penggunaan instrumen koersif. Selain itu, mekanisme dan prosedur kerja keamanan nasional perlu juga dikembangkan dengan memperhatikan fungsi-fungsi keamanan yang akan diutamakan digelar di tiap-tiap tingkatan eskalasi. Fungsi-fungsi keamanan tersebut meliputi fungsi peringatan dini, cegah tangkal, penindakan, pemulihan, dan stabilisasi.[6]

Setiap departemen fungsional tentu dapat merumuskan secara lebih rinci. Di bidang pertahanan negara, misalnya, mungkin pembedaaan cukup dilakukan atas penangkalan dan penindakan. Fungsi stabilisasi, jika ada, merupakan fungsi khusus yangtidak iinheren dalam fungsi normal tetapi lebih terkait dengan keadaan darurat. Intelijen dan departemen-departemen yang tidak memiliki imstrumen koersif dapat memilahnya menjadi peringatan dini, cegah tangkal dan penindakan dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan penindakan itu tidak boleh melebihi kewenangan fungsional yang melekat dalam departmennya.

Khususnya di bidang pertahanan dan keamaan negara, Indonesia memiliki empat instansi operasional. Pilar pertama adalah pemerintahan daerah yang terutama ditopang oleh unit-unit kesatuan bangsa yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri, serta polisi pamong praja yang berada di bawah kendali Kepala Daerah. Pilar kedua adalah POLRI yang secara nasional dipecah dalam organisasi kepolisian yang memiliki jalur komando vertikal dari provinsi hingga desa. Jalur komando vertikal ini juga diperkuat oleh kekuatan paramiliter POLRI (Brimob) yang dapat difungsikan sebagai first responder untuk mengatasi gangguan ketertiban masyarakat.

Pilar ketiga adalah dinas-dinas intelijen yang tergabung dalam komunitas intelijen negara. Saat ini, Indonesia memiliki dua dinas intelijen utama, yaitu Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS). Kedua dinas intelijen ini sama memiliki tugas untuk melaksanakan seluruh lingkaran proses kerja intelijen baik ke dalam maupun luar negeri. Dua dinas intelijen ini juga ditopang oleh keberadaan komunitas intelijen di tingkat nasional dan daerah yang melibatkan beragam dinas intelijen lain, seperti intelijen militer, intelijen kepolisian, intelijen kejaksaan, unit-unit kesatuan bangsa, serta Lembaga Sandi Negara. Pilar keempat adalah TNI. Saat ini, postur pertahanan Indonesia menunjukkan bahwa kapabilitas militer TNI lebih ditujukan untuk menangani masalah-masalah internal dan mengandalkan keberadaan jaringan teritorial AD.

Dua persoalan yang perlu dikembangkan adalah, pertama, mekanisme pengambilan keputusan tentang pengerahan dan penggunaan kekuatan koersif, khususnya dalam keadaan darurat; dan, kedua, kesiapan dan kemampuan institusi yang pada umumnya memang dirancang untuk menghadapi keadaan yang normal atau dapat diperkirakan sebelumnya, tetapi belum tentu dapat memenuhi kebutuhan untuk saat-saat tertentu. Prinsip ini kedaruratan ini perlu dikembangkan mengingat masalah-masalah keamanan nasional dapat bereskalasi dari situasi normal ke situasi perang. Eskalasi konflik ini dapat terjadi untuk lima tingkatan eskalasi, yaitu situasi normal, krisis, konflik terbuka/perang, situasi pemulihan, dan stabilisasi. Mekanisme dan prosedur kerja tersebut dapat dikembangkan dengan menetapkan keadaaan darurat yang berbeda-beda untuk masing-masing tingkat eskalasi konflik. Penetapan keadaan tertib sipil, darurat, sipil, darurat militer, dan darurat perang perlu dirumuskan secara rinci untuk memperjelas perluasan dan normalisasi peran negara.

Subyektivitas dari kondisi darurat itu sendiri menyebabkan bahwa kewenangan untuk itu tidak boleh begitu saja hanya diberikan kepada pimpinan instansi pelaksana. Pengaturan tentang aktor keamanan nasional juga harus dapat secara tegas memisahkan antara pejabat politik pemegang tanggung jawab politik dengan pimpinan instansi keamanan nasional yang merupakan pejabat karir dan memegang tanggung jawab operasional. Setiap instansi keamanan nasional dipimpin oleh seorang pejabat karir yang berasal dari lingkungan dalam instansi tersebut. Pimpinan instansi keamanan nasional ini adalah Panglima TNI, Kapolri, Kepala/Ketua lembaga koordinasi intelijen nasional, para kepala dinas-dinas intelijen yang tersebar di berbagai instansi, dan para kepala/ketua unit di departemen teknis yang terkait dengan penanganan isu keamanan nasional. Seluruh pimpinan instansi tersebut merupakan pemegang tanggung jawab operasional yang memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan kebijakan keamanan nasional.

Persoalan kedua terkait dengan kontraversi antara iddle capacity TNI. Seperti lajim diketahui, tugas pokok TNI adalah untuk menghadapi ancaman bersenjata; dan sepetti diketahui ancaman bersenjkata tidak muncul setiap saat. Pada saat yang sama, pembinaan, pengemangan TNI sendiri memerlukan biaya mahal. Di lain piak, dalamkeadaan tertentu tidak mustahil jika instansi-instansi pelaksana, karena sesuatu danlain hal, tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengahdapi ancaman yang terjadi. Dalam keadaan seperti itu negara mempunyai otoritas untuk dapat menggunakan TNI. Hingga kini kemungkinan seperti ini belum cukup diatur dalam segenap pertauran yang ada.

Sebab itu ada dua masalah yang perlu dibicarakan secara serius dan kemudian menjadi bagian penting dari sebuah sistem keamanan nasional. Pertama adalah tentang Dewan Keamanan Nasional. Dalam pengelolaan sistem keamanan nasional, Presiden dibantu oleh Dewan Keamanan Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat kepresidenan yang berfungsi membantu Presiden untuk: (1) menentukan masalah-masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan nasional; (2) merekomendasikan alternatif kebijakan dalam menangani masalah keamanan nasional tersebut; dan (3) memberi pertimbangan kepada presiden tentang keadaan darurat maupun opsi strtategis dan operasi pelaksanaannya.[7] Berdasarkan rekomendasi kebijakan yang dibuat oleh DKN, Presiden dapat menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI, POLRI, lembaga-lembaga intelijen, dan departemen-departemen) untuk menangani masalah keamanan nasional. Jika diperlukan Presiden dapat jua membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional (executing agencies) yang bersifat ad hoc.[8]

Yang kedua adalah tentang tugas perbantuan TNI, bukan tugas pelibatan seperti istilah yang digunakan dalam drfat RUU Keamanan Nasional yang disusun oleh Departemen Pertahanan. Tugas semacam itu dapat terdiri dari, misalnya, tugas kemanusiaan, tugas kegiatan sosial kemasyarakatan, tugas pemberian bantuan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum, serta tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semuanya harus ditafsirkan dalam konteks penggunaan iddle capacity TNI untuk membantu masyarakat dan/atau memperkuat [kemampuan dan/atau kesiagaan] instansi non-militer (pemerintah daerah, POLRI). Karena itu kategori penggunaan kekuatan TNI untuk tugas perbantuan ini memerlukan pengaturan khusus di bidang political judgment, regular evaluation, special command relations dan beberapa hal lain, termasuk anggaran.

Catatan penutup

Sebuah UU tentang pertahanan dan keamanan negara, atau istilah apapun yang digunakan untuk itu, sekurang-kurangnya terdiri dari bab-bab yang membahas tentang (1) Ketentuan Umum; (2) Hakikat, tujuan dan ruang lingkup keamanan nasional; (3) Prinsip-prinsip dasar strategi keamanan nasional, khususnya tentang effective dan responsive states, diferensiasi instrumen untuk menghadapi ancaman, dan komitmen pada ketentuan hukum nasional dan internasional; (4) Pengelolaan Keamanan Nasional – diferensiasi struktur untuk fungsi pembinaan, pengembangan dan penggunaan potensi; (5) Penyelenggaraan Keamanan Nasional – spesialisasi fungsi, strategi operasi penyelenggaraan, tanggungjawab instansional, dan penegasan tentang perlunya koordinasi lintas-instansi; (6) Dewan Keamanan Nasional; (7) Tugas Perbantuan TNI; (8) Anggaran; (9) Pengawasan dan kontrol; dan (10) Ketentuan transisional

Banyak persoalan yang harus diperhitungkan. Konsep, terminologi dan formulasi tentang isu yang sama saja tidak konsisten antara perundang-undangan satu dengan yang lain. Selain itu tidak juga ada hirarki yang konsisten antara kebijakan umum dengan kebijakan operasional, kebijakan pengelolaan dengan kebijakan penyelenggaraan. Kata benda strategi juga kerap kali menggunakan kata sifat yang sama, tanpa ada rujukan hirarkis yang jelas dengan kebijakan ataupun operasi. Alur dari kebijakan sampai strategi juga tidak selalu sesuai dengan hirarki instansional sehingga ada instansi pelaksana yang tidak bernaung di bawah departemen fungsional; dan sebaliknya ada departemen fungsional yang tidak secara penuh mampu menjangkau instansi pelaksana kebijakannya.

Pembahasan awal tentang sebuah rancangan undang-undang kerapkali juga mengundang reaksi yang berlebihan, distortif, atau tidak relevan karena dilandasi oleh apriori dan berbagaibentuk purbasangka. RUU tentang Keamanan Nasional, sampai pertengahan tahun 2005 tentang RUU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, yang dirancang oleh Departemen Pertahanan tidak luput dari kecenderungan itu. Substansinya jarang dibicarakan. Perdebatan hanya terbatas pada implikasinya terhadap restrukturisasi organisasi instansi keamanan nasional, terutama tentang penempatan institusi POLRI di bawah suatu departemen tertentu; pelibatan TNI di dimensi non-pertahanan negara yang dipandang sebagai perluasan kewenangan TNI ke wilayah kerja POLRI; dan isu mengenai gelar operasi militer TNI tanpa melalui prosedur keputusan politik yang melibatkan Presiden dan DPR.[9] Departemen Pertahanan sendiri cenderung mengedepankan kedudukannya sebagai leading sector tetapi tidak menampung suara-suara dari pihak lain.[10] Presiden tidak memberi kata akhir, misalnya ketika terjadi silang selisih antara Menteri Pertahanan maupun Panglima TNI di satu sisi dan Kapolri di sisi lain.[11]



[1] Bahan pengantar diskusi dalam seminar tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dengan thema “Penataan Manajemen Hankamneg yang komprehensif dalam menghadapi era globalisasi menuju sishankamneg yang ideal”, Gedung Astagatra Lantai III, Lemhannas, Jakarta, 15 Januari 2008

[2] Dr. Kusnanto Anggoro, pengkaji masalah-masalah keamanan nasional, kajian strategis, dan perencanaan pertahanan; pengajar pasca sarjana ilmu hubungan internasional FISIP UI, pengajar tamu di beberapa lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Pertahanan dan TNI; dalam beberapa tahun belakangan ini ikutserta merumuskan rancangan UU Pertahanan Negara (2002), UU TNI (2004), Buku Putih Pertahanan (2003), rancangan alternatif untuk RUU Intelijen Negara, RUU Rahasia Negara dan Buku Putih Pertahanan (2008).

[3] Bisa juga dibedakan menurut pertahanan, keamanan dalam negeri, keselamatan masyarakat dan ketertiban masyarakat, perlindungan masyarakat. Pada umumnya referrent object itu juga diikuti dengan atribusinya terhadap ancaman tertentu, misalnya ancaman militer (pertahanan), ancaman terhadap keamanan dalam negeri), gangguan terhadap tertib hukum dan berbagai persoalan keselamatan masyarakat (kamtibmas) serta bencana (alam, buatan, dan epidemi).

[4] Tentu harus disadari bahwa di Indonesia keharusan itu tidak mudah dirumuskan karena sejumlah alasan. Istilah ”keamanan nasional” tidak terdapat dalam berbagai dokumen legal struktur perundang-undangan di Indonesia. Beberapa perundangan baru tidak lagi memuat elemen yang dalam perundangan yang digantikannya ditafsirkan sebagai elemen-elemen ”keamanan nasional”, sekalipun menggunakan istilah yang lain, misalnya ”pertahanan keamanan negara”. Sebaliknya, landasan, tujuan, dan formulasi konsep ”pertahanan” di beberapa dokumen resmi, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara hanya merupakan salah satu diantaranya, beranjak dari konsep yang amat luas.

[5] Istilah negara modern sering dianggap sebagai kontraversi negara tradisional. Ada pembedaan lain, misalnya negara demokratik dan non-demokratik, masing-masing dengan berbagai varian istilah. Perspektif juga tak jarang digunakan sehingga ada negara nasional, multinasional; ada negara teritorial, negara absolutist, negara majemuk dan tentu saja masih mungkin memberi atribusi tertentu sesuai dengan kepentingan teoretikal yang kadang kala tidak selalu sesuai dengan tujuan kebijakan.

[6] Fungsi peringatan dini dan cegah tangkal seharus lebih diutamakan saat tingkatan eskalasi konflik masih berada dalam tingkatan normal atau krisis. Fungsi penindakan terpaksai diandalkan saat eskalasi konflik meningkat ke arah konflik terbuka dan perang. Fungsi pemulihan dan stabilisasi harus segera dilakukan saat pihak-pihak yang berkonflik sudah bersepakat untuk meninggalkan metode kekerasan dan masuk ke tahap perdamaian.

[7] DKN diketuai oleh Presiden dengan keanggotaan dari pemerintah dan non-pemerintah. Anggota DKN terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan kepala lembaga-lembaga intelijen (BIN dan lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi intelijen). Anggota-anggota DKN ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

[8] Syarat-syarat pembentukan unit pelaksana ad hoc perlu diatur secara tegas dan rinci. Unit pelaksana operasi pertahanan dan keamanan negara tersebut merupakan instrumen pelaksana kebijakan keamanan nasional.

[9] Lihat Andi Widjajanto, “Benang Kusut RUU Keamanan Nasional,” Media Indonesia, 17 Februari 2007.

[10] “Pembahasan Draf RUU Kamnas Jangan Ditutupi,” Kompas, 5 Februari 2007;

[11] “Pemerintah Diminta Tegas Menyusun Sistem Kamnas,” Okezone, 30 Maret 2007. “Presiden Harus Tegas dan Terang,” Kompas, 17 Februari 2007;

Kamis, 26 Juni 2008

Makalah Seminar Nasional

Studi Perbandingan Keamanan Nasional

oleh : DR. Makmur Keliat

I. Keamanan Nasional sebagai Keamanan Negara

Ada dua alasan utama mengapa studi komparasi tentang keamanan nasional ini dilakukan. Alasan pertama tentu saja karena minat akademis. Studi perbandingan semacam ini tampaknya belum mendapatkan perhatian --untuk tidak mengatakan belum ada-- yang memadai di kalangan komunitas akademik di Indonesia. Tampaknya perlu pula disampaikan, ketersediaan sumber daya akademik yang ada di Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia, memberikan motivasi yang khas untuk melakukan analisis komparasi sistem keamanan nasional itu. Beberapa dari peneliti yang terlibat dalam pembuatan laporan ini pernah melanjutkan studinya di beberapa negara yang dijadikan objek perbandingan.

Alasan kedua terkait dengan kebutuhan praktis. Dalam konteks di Indonesia, kebutuhan untuk memiliki regulasi tentang keamanan nasional terasa sangat dibutuhkan. Kebutuhan ini muncul terutama dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi antara aktor keamanan nasional. Karena itu pula, studi komparasi sistem keamanan nasional enam negara ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wacana tentang regulasi keamanan nasional terutama untuk memahami kebutuhan koordinasi antara aktor keamanan nasional.

Didorong oleh minat akademik dan kebutuhan praktis itu terdapat lima pertanyaan utama yang berupaya untuk dijawab melalui studi perbandingan keamanan nasional ini. Pertama, apakah yang dimaksud dengan keamanan nasional? Kedua, apa yang dimaksud dengan ancaman terhadap keamanan nasional? Ketiga, siapakah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan keamanan nasional? Keempat, siapakah aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan keamanan nasional? Kelima, bagaimanakah mekanisme koordinasi antar aktor keamanan nasional?

Seperti halnya setiap studi perbandingan selalu terdapat kemiripan dan variasi dalam temuan-temuan yang dihasilkan. Seperti nantinya akan terlihat, laporan ini --yang terpilah dalam enam bagian utama--- tampaknya juga tak dapat menghindarkan diri dari karakteristik temuan semacam itu. Bagian pertama hingga bagian kelima, yang distrukturkan sedemikian rupa untuk menjawab lima pertanyaan yang diajukan oleh penelitian ini, akan memperlihatkan kemiripan dan variasi temuan tersebut. Bagian keenam atau bagian terakhir pada dasarnya merupakan beberapa catatan kesimpulan yang dirangkum berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari bab-bab sebelumnya.

Walau terdapat variasi antara satu negara dengan negara lainnya, namun satu kenyataan yang sukar untuk dibantah adalah keenam negara yang diperbandingkan selalu menyebutkan kelangsungan hidup bangsa dan negara sebagai bagian integral dari konsep keamanan nasional. Contoh yang sangat mencolok untuk itu misalnya adalah dalam kasus Israel. Di negeri ini misalnya, istilah keamanan—Ibrani: bitahon— dipahami menjadi bagian integral dari eksistensi Israel. Karena itu pula, penjelasan mengenai proses perdamaian di negeri itu tidak dapat dilepaskan dari dominasi pertimbangan keamanan nasional. Bagi Israel, proses perdamaian tidak akan dapat diterima jika itu berarti mengancam keamanan nasional

Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih lunak, kebutuhan untuk kelangsungan hidup itu juga muncul di Australia. Pasal 119 konstitusi negeri itu menyatakan bahwa keamanan nasional berarti perlindungan terhadap negara bagian dan rakyat Australia dari invasi asing dan kekerasan domestik. Perlindungan negara dari ancaman asing dan perlindungan negara dari ancaman internal juga tampak muncul dari konsep keamanan nasional Malaysia. Meski demikian, perlu pula dicatat bahwa kebijakan keamanan Malaysia tidak hanya terkait dengan perlindungan kedaulatan. Penelusuran terhadap sumber-sumber informasi yang ada menunjukkan bahwa konsep keamanan nasional negeri serumpun ini juga digunakan sebagai instrumen untuk membangun identitas kulutral negeri itu khususnya terkait dengan identitas melayu dan Islam.

Karena itu di Malaysia keamanan nasional bersifat komprehensif. Ia dimaksudkan untuk mencapai beragam tujuan. Pertama, melindungi konstitusi, termasuk didalamnya melindungi posisi kepemimpinan Melayu, Islam sebagai agama negara, keistimewaan etnis Melayu, serta legitimasi perolehan hak bagi etnis lainnya. Kedua, melindungi persatuan nasional dan keharmonisan antar etnis. Ketiga, pembangunan ekonomi dalam konteks masyarakat multirasial dalam rangka memperkuat ketahanan nasional. Keempat, melindungi negara dari ancaman keamanan internal. Kelima, menjaga kedaulatan nasional dan melindungi integritas teritorial. Keenam, menjaga stabilitas dan perdamaian lingkungan eskternal yang berpengaruh pada kepentingan strategik negara.

Konsep keamanan yang komprehensif juga muncul dari kasus Inggris. Bagi Inggris keamanan nasional dapat didefenisikan sebagai upaya untuk mengatasi dua ancaman sekaligus yaitu ancaman terhadap keamanan negara maupun ancaman terhadap keamanan individu dalam negara. Situasi yang mirip juga dapat ditemukan di Amerika Serikat. Keamanan nasional di negeri ini juga dimaksudkan untuk melindungi konstitusi dan warga negaranya serta terjaminnya pelaksanaan nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Hanya saja terdapat nuansa yang membedakanya dengan konsep keamanan nasional dari negeri-negeri lain yang menjadi objek kajian studi ini.

Amerika Serikat (AS) merupakan satu-satunya negara yang sangat dominan dalam pembentukan agenda keamanan global. Baik selama periode Perang Dingin dan setelahnya. AS sesungguhnya secara aktif telah menjadi agenda setter keamanan dalam sistem internasional. Tampaknya kapabilitas dan kapasitas sumber daya yang sangat besar yang dimiliki oleh negeri itu telah memberikan keleluasaan yang juga sangat besar bagi AS untuk memproyeksikan kepentingan keamanan nasionalnya melebihi batas-batas nasionalnya. Karena itu pula kebijakan keamanan nasioal negeri itu kerapkali sukar untuk dibedakan dengan isu kebijakan keamanan global.

III. Konteks Historis dan Lingkungan Strategis Keamanan Nasional

Perbedaan dan perubahan dinamika lingkungan strategis yang dihadapi setiap negara sangat mempengaruhi apa yang disebut dengan ancaman terhadap keamanan nasional. Contoh kasus untuk ini sangat jelas dalam kasus Amerika Serikat. Selama Perang Dingin misalnya, isu keamanan Amerika Serikat terfokus pada kompetisi antara dua blok Barat dan Timur serta perimbangan persenjataan nuklir. Namun segera setelah berakhirnya Perang Dingin, negeri itu memfokuskan pada isu-isu yang terkait dengan human security, demokratisasi, dan HAM. Fokus lainnya adalah pada keamanan ketersediaan energi untuk konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu eksplorasi sumber-sumber minyak baru di luar AS menjadi salah satu agenda penting karena kelangkaan sumber energi dianggap sebagai salah satu persoalan yang berpotensi menimbulkan ancaman. Segera setelah berakhirnya perang dingin, AS juga menjadi pelopor bagi konsep humanitarian intervention, yang didasari oleh banyaknya konflik internal di berbagai benua. Komitmen AS dalam PBB menjadikannya sebagai “polisi dunia”, yang terkadang membuat AS mengutamakan aksi unilateral atas dasar superioritas kapasitas militer, misalnya keterlibatan NATO di Kosovo. Terkadang pula aksi ini tidak berhasil dan membawa korban bagi AS, misalnya keterlibatan AS dalam konflik internal di Somalia.

Namun situasi ini tidak berlangsung lama. Titik yang membawa perubahan pada prioritas agenda keamanan AS adalah ketika terjadi serangan teroris pada 11 September 2001. Dengan cepat agenda keamanan AS di segala level difokuskan pada perang melawan terorisme global. Agenda ini yang dimasukkan AS dalam setiap forum, formal atau informal, bilateral atau multilateral, regional maupun global; untuk mendapatkan dukungan internasional terhadap perang melawan terorisme. Isu ini pula yang dijadikan justifikasi bagi AS untuk menyerang Afghanistan di mana rezim Taliban yang berkuasa dianggap melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al Qaida. Selanjutnya konsep ’terorisme’ sendiri dengan mudah dapat digabungkan dengan berbagai bentuk ancaman lain, misalnya maritime terrorism atau cyberterrorism.

Pasca invasi ke Afghanistan, AS melanjutkan agenda perang melawan terorisme dalam pengembangan isu yang lebih lanjut; yakni dengan justifikasi kepemilikan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction -WMD) ilegal dari kelompok negara-negara ’bengal’ (rouge states), yakni Irak, Iran, dan Korea Utara. Irak telah menjadi negara pertama yang diinvasi oleh AS atas dasar kepemilikan ilegal WMD. Korea Utara, yang juga berada dalam kondisi yang sama, saat ini tengah di-engage AS dengan diplomasi (koersif) melalui perundingan mengenai kepemilikan nuklir yang hendak diarahkan untuk tujuan damai, bukan untuk persenjataan.

Lingkungan strategis yang mengancam dan tidak koperatif, khususnya dari lingkungan negara tetangganya, telah membuat Israel mengalami fenomena security schizoferania. Bangunan ancaman Israel dimulai dari fitrah didirikannya negara Israel sendiri. Penolakan bangsa Arab pada awal berdirinya negara Israel dalam bentuk serangan gabungan negara-negara Arab merupakan pembentuk konsep ancaman Israel. Penolakan tersebut hidup dalam memori kolektif bangsa Israel, yang kemudian diturunkan ke setiap generasi dalam semua lini kehidupan. Tiga perang yang terjadi kemudian (1956, 1967 dan 1973) semakin mengukuhkan persepsi ancaman Israel terhadap serangan dari (gabungan) negara-negara Arab. Proses perdamaian yang dilakoni—Camp David 1979, Oslo 1993 dan Jordan-Israel peace treaty 1994—pun tidak mampu merubuhkan persepsi tersebut

Ketakutan terhadap penolakan tersebut mengerucut pada ketakutan terhadap ancaman dari kekuatan (gabungan) Arab—kemudian ditambah dengan Iran. Konsep keamanan yang dikembangkan kemudian adalah menciptakan keunggulan komparatif terhadap (gabungan) negara-negara Arab (deterrence) dan mendapatkan keuntungan geostrategis untuk menghadapi serangan dari (gabungan) negara-negara Arab (penguasaan wilayah). Konsep keamanan Israel sendiri tidak memasukkan vulnerabilities sebagai bagian dari keamanan dan lebih fokus pada ancaman. Dalam kaitan ini, terdapat tiga domain keamanan tradisional yang dibangun dalam kerangka ini: keamanan militer, keamanan teritorial dan keamanan demografis.

Mirip dengan Israel, pengalaman historis telah mempengaruhi secara khas cara pandang India untuk melihat ancaman terhadap keamanan nasionalnya. Bagi India, adanya pengalaman perang dengan Pakistan dan China telah membuat negeri itu selalu melihat ancaman terhadap keamanan nasional berasal dari Utara. Namun berbeda dengan Israel dan India, yang karena pengalaman historis dan lingkungan srategisnya yang telah mengalami proses sekuritasi yang sangat eksesif, Australia relatif tidak mengalami perubahan yang besar dalam mengidentifikasi ancaman terhadap keamanan nasionalnya. Tindakan mata-mata, sabotase, kekerasan bermotif politik, kekerasan komunal, serangan terhadap sistem pertahanan, atau tindakan campur tangan asing baik berasal dari luar atau dilakukan di dalam wilayahnya dianggap oleh Australia sebagai ancaman keamanan nasional terhadap negeri itu.

Pengalaman historis dan lingkungan strategis yang berubah juga tampak sangat mempengaruhi Inggris dalam mengidentifikasikan ancaman terhadap keamanan nasionalnya. Hal ini terlihat dari adanya enam tipe ancaman yang dipersepsikan oleh negeri tersebut. Tipe pertama adalah definisi ancaman yang dibentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap negara dengan ruang lingkup nasional. Salah satu contoh penting dari ancaman ini adalah aksi aksi terorisme yang berkaitan dengan kasus Irlandia Utara. Teroris yang mengatasnamakan Irlandia Utara telah lebih dari 40 tahun menyerang institusi dan simbol negara Inggris dan hingga saat ini masih didefinisikan sebagai salah satu ancaman keamanan bagi Inggris.

Tipe kedua adalah definisi ancaman yang dibentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap individu (human security) dengan ruang lingkup nasional. Tipe ancaman ini menjadi sangat signifikan bagi Inggris terutama setelah peristiwa 911 dan bom London 7 July 2005. Oleh karena itu terorisme yang berkaitan dengan Al-Qaeda dan menyerang warga sipil merupakan salah satu contoh ancaman keamanan terbesar terhadap Inggris saat ini. Selain itu tingginya angka kriminalitas dan perilaku-perilaku anti-sosial seperti hooliganisme serta penuhnya penjara di Inggris juga didefinisikan sebagai salah satu ancaman keamanan bagi Inggris.

Tipe ketiga adalah definisi ancaman yang dibentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap keamanan negara dengan ruang lingkup regional. Salah satu contoh ancaman keamanan tipe ini adalah konflik-konflik di wilayah Eropa yang memiliki kemungkinan berdampak negatif terhadap stabilitas kawasan Eropa seperti misalnya konflik di wilayah Balkan, Eropa Timur dan wilayah negara negara yang sebelumnya tergabung dalam Uni Sovyet. Tipe keempat adalah definisi ancaman yang dibentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap individu dengan ruang lingkup regional. Ancaman keamanan terbesar bagi Inggris adalah ketidakamanan yang mungkin disebabkan oleh tingginya arus imigrasi ilegal serta arus perdagangan obat obatan terlarang yang memiliki potensi besar untuk mengancam keamanan nasional di Inggris.

Tipe kelima adalah tipe ancaman yang dibentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap keamanan negara dengan ruang lingkup internasional. Tipe ancaman ini terkait erat dengan keamanan dan keselamatan misi-misi internasional Inggris. Oleh karena itu, proliferasi senjata pemusnah masal – Nuklir, Biologi dan Kimia, merupakan salah satu ancaman keamanan bagi Inggris. Kekhawatiran Inggris terutama terkait dengan adanya kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal ini oleh aktor aktor non tradisional seperti misalnya para kelompok teroris yang sebagian besar telah mendefinisikan Inggris sebagai salah satu negara target. Tipe terakhir adalah tipe ancaman keamanan yang terbentuk dari kombinasi karakter ancaman terhadap individu di level internasional. Salah satu kekhawatiran Inggris dalam tipologi ini adalah masalah kemiskinan dan masalah-masalah lain yang muncul sejalan dengan proses pembangunan yang berlangsung cepat di tingkatan global. Ancaman ini memang tidak secara langsung mengancam Inggris tetapi telah didefinisikan oleh pihak-pihak terkait di Inggris sebagai ancaman yang dapat mengganggu keamanan negeri itu secara tidak langsung.

Mirip dengan Inggris, analisis yang dilakukan studi ini menunjukkan bahwa Malaysia telah mengidentifikasikan adanya dua kategori utama untuk ancaman kemanan nasional negeri itu. Kategori pertama disebut sebagai ancaman klasik, yaitu muncul sebagai akibat perjalanan historis masa lalu negeri itu. Terdapat tiga jenis ancaman yang masuk dalam kategori ini yaitu konflik etnis, perlawanan partai komunis, dan konfrontasi. Sedangkan untuk kategori kedua disebut dengan ancaman kontemporer, yaitu ancaman yang masih berlangsung sampai dengan saat ini. Kategori ini terdiri dari ancaman intra-regional, ancaman ekstra-regional, dan ancaman transnasional (terutama Islam Fundamental)

IV. Penanggung Jawab Keamanan Nasional

Semua negara yang menjadi kajian studi ini memiliki kemiripan dalam pembagian tanggung jawab untuk mengelola keamanan nasional. Kemiripan itu terletak pada beberapa hal berikut. Pertama, eksekutif memiliki otoritas yang sangat besar dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan keamanan nasional. Dalam kasus di Israel, Malaysia dan India, kebijakan keamanan nasional negeri itu sangat didominasi oleh kantor Perdana Menteri (PM Office). Demikian juga halnya di Inggris, mekanisme pembuatan kebijakan keamanan nasional ini , khususnya pada koordinasi berpusat pada Kantor Kabinet Perdana Menteri (Cabinet Office) yang memiliki beberapa sekretariat yang bertanggung jawab atas satu isu tertentu, misalnya sekretariat keamanan dan intelijen.

Demikian juga halnya di Australia. Berdasarkan konstitusi negeri itu, memang kekuasaan komando tertinggi atas angkatan bersenjata dipegang oleh Gubernur Jenderal (Governor-General/GG) sebagai perwakilan Ratu Inggris (pasal 68). Tetapi, konstitusi negeri itu juga menyatakan adanya suatu badan yang disebut sebagai Federal Executive Council yang bertugas untuk memberikan masukan kepada GG (pasal 62 dan 63). Federal Executive Council itu terdiri atas GG, Prime Minister (PM) dan Menteri-Menteri (Ministers). Karena itu GG lebih sebagai fungsi simbolik dan PM merupakan penasehat utama GG sehingga dengan demikian merupakan aktor yang memegang kontrol riil atas kekuatan pertahanan.

Walau harus bekerja sama dengan Kongres, otoritas eksekutif dalam perumusan kebijakan keamanan nasional di AS juga sangat besar. Otoritas eksekutif yang besar itu tampak dari tiga fungsi utama yang dimilikinya dalam keamanan nasional: alokasi sumber daya, perencanaan kebijakan, dan koordinasi-pengawasan operasi. Ini tidak berarti bahwa tidak terdapat pembatasan terhadap otoritas tersebut. Secara konstitusional, Presiden dan Kongres berperan saling melengkapi dalam proses keamanan nasional. Walau Presiden merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata AS, namun tidak memiliki otoritas untuk pengerahan pasukan. Kongres-lah, yang berdasarkan Konstitusi, dapat mengerahkan pasukan.

Kedua, terdapat beberapa kementerian/departemen yang selalu terlibat secara langsung di dalam perumusan kebijakan keamanan nasional dengan cakupan tugas yang berbeda. Biasanya Kementerian/Departemen itu antara lain adalah Kementerian Pertahanan, Luar Negeri, dan Dalam Negeri. Di Amerika Serikat misalnya, disamping Presiden dan Wakil Presiden, terdapat empat pejabat utama lainnya yang disebut dengan the Big Four, yaitu Secretary of States, Attorney General, Secretary of the Treasury, dan Secretary of Defense. Keempat posisi ini yang menjadi sentral dan vital dalam membantu Presiden menentukan kebijakan keamanan nasional.

Aktor-aktor pada tingkat kementrian ini memiliki cakupan tugas yang berbeda. Menteri Luar Negeri misalnya bertugas menangani isu hubungan luar negeri. Karena itu Menlu AS berperan sebagai penasehat utama Presiden dalam menentukan kebijakan luar negeri dan dalam melakukan pengarahan, koordinasi, dan supervisi kegiatan interdepartemen yang berkedudukan di luar negeri, namun tidak termasuk untuk kegiatan militer tertentu. Sementara Menteri Keuangan yang menangani isu moneter dan keuangan, juga terlibat dalam memberikan masukan. Beberapa badan dalam departemen ini yang terkait dengan penegakan hukum seperti Customs Service dialihkan wewenangnya ke dalam Department of Homeland Security yang baru dibentuk tahun 2003.

Menteri Pertahanan AS bertugas menangani angkatan bersenjata dan hal-hal yang terkait dengan militer. Perannya adalah sebagai penasehat utama kebijakan pertahanan untuk Presiden dan bertanggunjawab dalam perumusan kebijakan pertahanan umum dan kebijakan lain yang terkait langsung dengan Departemen Pertahanan, serta terlibat dalam eksekusi kebijakan yang disetujui. Ia bersama dengan Presiden AS merupakan dua jabatan yang membentuk National Command Authority (NCA) yang memiliki otoritas khusus untuk meluncurkan senjata nuklir strategis.

Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri juga berperan di Israel. Namun berbeda dengan Amerika Serikat, kedua kementerian ini tampaknya tidak terlalu dominan di Israel. Sedangkan dalam kasus Australia, seperti ditetapkan dalam Defense Act 1903, Menteri Pertahanan memiliki kontrol secara umum dan administratif atas kekuatan pertahanan dari ketiga angkatan (pasal 8). Kepala Angkatan Bersenjata dan juga Kepala masing-masing angkatan memiliki fungsi untuk memberikan saran kepada Menteri Pertahanan (pasal 9.3).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, pembuatan kebijakan keamanan nasional Inggris berpusat pada Kantor Kabinet Perdana Menteri (Cabinet Office). Mirip dengan kabinet Presidensial AS, kantor Perdana Menteri Inggris memiliki berbagai sekretariat yang bertanggung jawab atas satu isu tertentu. Dalam kaitan ini setidaknya terdapat tiga aktor yang bertanggung jawab atas isu keamanan di dalam Cabinet Office, yaitu sekretariat kontijensi sipil (Civil Contingencies Secretariat), sekretariat pertahanan dan luar negeri (The Defence and Overseas Secretariat) dan sekretariat intelijen dan keamanan (Intelligence and Security Secretariat). Sekretariat-sekretariat ini terdiri dari berbagai pejabat tinggi pemerintah dalam kabinet dan pejabat tinggi dari berbagai institusi keamanan

V. Ragam Aktor Keamanan Nasional

Di luar kementrian-kementrian utama di atas, terdapat juga aktor-aktor lainnya. Walau jumlahnya bervariasi namun umumnya aktor-aktor yang selalu ada di luar kementrian itu adalah tentara, polisi, dan intelijen. Berbeda dengan aktor kementrian yang bergerak pada tataran kebijakan, aktor-aktor ini terutama memiliki ruang gerak pada tataran operasional. Di Israel, aktor-aktor operasional itu berada di tentara (Israel Defence Forces), dinas intelijen, kekuatan polisi dan penjaga perbatasan. Walau penjaga perbatasan memiliki struktur sendiri namun dalam prakteknya terkait erat dengan tentara. Di lihat dari personilnya, baik kekuatan, darat, udara maupun laut negeri ini terdiri dari pasukan reguler dan pasukan cadangan. Secara hirarkhis organisasinal, tentara Israel dipimpin oleh seorang Chief of General Staff yang bertanggungjawab secara langsung kepada Menhan dan tidak langsung kepada PM. Sedangkan dinas intelijennya terdiri dari intelijen strategis yang ada di tubuh tentara yang disebut Aman, Mossad (dinas internasional) serta Shin Bet/Shabak (dinas domestik). Dua yang disebut terakhir yaitu Mossad dan Shin Bet, merupakan dua kekuatan utama intelijen Israel. Tugas utama dari keduanya untuk mengatasi ancaman terorisme, terutama dari kelompok perlawanan Palestina, dan nuklir.

Dalam kasus Australia, disamping Governor-General (GG) dan Perdana Menteri, identifikasi yang dilakukan menunjukkan adanya tiga aktor keamanan yang cukup penting yaitu (1) Chief of Defense dan juga Kepala Staf (Chief) dari tiga angkatan (2) Australian Federal Police (AFP) dan (3) Australian Security Intelligence Organisation. Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa kepolisian federal memegang sebagian fungsi keamanan, yaitu dalam bidang law enforcement dan independen dari kekuatan pertahanan. Dalam ketentuan perundangan negeri itu disebutkan bahwa Pimpinan Polisi dan wakilnya ditunjuk oleh Gubernur Jenderal dan kewenangan yang dimilikinya untuk melakukan tugasnya berasal dari berbagai peraturan perundangan negara federal dan negara bagian atau daerah otonom.

Malaysia dan India memiliki kemiripan dalam aktor-aktor operasional keamanan nasionalnya. Walau keduanya merupakan negara berkembang, namun fungsi yang dilaksanakan oleh aktor-aktor keamanan di kedua negeri ini tampaknya telah terdiferensiasi dan terspesialisasi dengan baik. Tentara dibentuk untuk melakukan operasi di hutan-hutan pedalaman dan perbatasan sedangkan kepolisian bertanggung jawab atas penegakan hukum di wilayah berpenduduk. Selain berbagai kemampuan teknis militer tersebut, hal lain yang menarik dari institusi militer di kedua negeri itu adalah budaya strategis yang melekat di institusi tentara. Berbeda dengan kebanyakan negara-negara berkembang semi ototitarian lainnya, baik Malaysia dan India tidak pernah mengalami intervensi politik yang dilakukan oleh institusi militer. Sejak memperoleh kemerdekaannya, kedua negeri ini telah berhasil melembagakan organisasi militer menjadi organisasi yang profesional, sebagaimana dimaksud dalam konsep-konsep barat, serta menerima dengan sangat baik prinsip supremasi otoritas sipil. Keunikan ini dikatakan oleh sebagaian pengamat dipengaruhi oleh pola hubungan sipil – militer dalam tradisi militer Inggris.

Walau memiliki kemiripan dalam peran tentaranya, namun terdapat perbedaan antara India dan Malaysia dalam peran yang dilakukan institusi polisi. Sejak awal berdirinya, polisi Malasyia memang tidak pernah bergabung dengan institusi militer. Otoritas politik pelaksanaan tanggung jawab dan wewenang kepolisian juga berada di bawah Kementrian Dalam Negeri. Namun, institusi kepolisian di Malaysia justru merupakan aktor keamanan yang lebih dominan dibandingkan militer. Institusi polisi di Malaysia memiliki satuan paramiliter yang dikenal dengan Satuan Polisi Lapangan (Police Field Force / PFF), yang terdiri dari 21 batalion. PFF juga mendapatkan pelatihan jungle warfare dan dilengkapi dengan persenjataan standar yang dimiliki oleh militer. Di samping PFF, intitusi polisi di Malaysia juga memiliki Unit Cadangan Federal (Federal Reserve Unit), yang bertugas mengatasi keadaan darurat seperti demonstrasi dan kerusuhan dan juga memiliki Satuan Khusus (Special Branch), yang bertugas mengendalikan fungsi intelijen politik internal.

Dari enam negara yang dijadikan objek studi, ada dua negara yang memiliki aktor keamanan nasional yang sangat beragam dengan fungsi yang sangat terspesialisasi yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Di Amerika Serikat misalnya, di samping Presiden dan Wakil Presiden, Secretary of States, Attorney General, Secretary of the Treasury, dan Secretary of Defense, masih terdapat 4 aktor lainnya, yaitu (1) Assistant to the President for National Security Affairs (ANSA), (2) Chairman of the Joint Chiefs of Staff (JCS) (3) Director of National Intelligence (DNI) (4) White House Chief of Staff. Keempatnya memiliki tugas yang berbeda. ANSA, yang sering disebut juga sebagai National Security Advisor berperan sebagai penasehat tertinggi (chief advisor) bagi Presiden. ANSA juga bertugas dalam NSC dan berada dalam kekuasaan Eksekutif Presiden. Presiden dapat menunjuk ANSA tanpa konfirmasi dari Senat AS. Dengan demikian posisi ini tidak terhubung secara politis dengan Departemen Luar Negeri maupun dengan Departemen Pertahanan, sehingga dapat memberikan saran independen kepada Presiden.

Sementara itu, JCS, merupakan ranking tertinggi dari perwira militer dalam sistem angkatan bersenjata AS dan merupakan penasehat militer utama untuk Presiden AS, serta memimpin dan mengkoordinir Joint Chief of Staff (JCS) yang terdiri dari Chairman, Vice Chairman, Chief of Staff of the US Army and US Air Force, the Chief of Naval Operations, dan the Commandant of the US Marine Corps. Meskipun perannya penting, tampaknya perlu pula digarisbawahi fakta bahwa sebagai suatu lembaga maka baik Chairman maupun JCS tidak memiliki otoritas untuk pengerahan pasukan tempur. Rantai komando pengerahan pasukan bermula dari Presiden, menuju Secretary of Defense, dan langsung kepada pemimpin pasukan tempur.

Untuk tugas-tugas intelijen dibentuk DNI. Pimpinan DNI merupakan pejabat pemerintah AS yang berada di bawah wewenang, pengarahan dan kontrol dari Presiden AS. Tugas DNI adalah mengepalai Office of the Director of National Intelligence sebagaimana tercantum dalam Intelligence Reform and Terrorist Prevention Act (2004) yang disahkan pada 17 Desember 2004. Peran DNI adalah sebagai penasehat utama Presiden, NSC, dan Homeland Security Council untuk isu intelijen yang terkait dengan keamanan nasional; menjadi kepala dari 16 anggota Intelligence Community, dan mengawasi serta mengarahkan National Intelligence Program.

Pembentukan DNI merupakan bagian dari rekomendasi laporan 9/11 Commission yang melakukan investigasi terhadap serangan 11 September 2001, yang dikeluarkan pada 22 Juli 2004. Laporan ini menekankan bagaimana seharusnya intelligence community dapat berfungsi optimal dalam melindungi warganegara AS dan keamanan dalam negeri (homeland security) terhadap serangan teroris asing. Sebelum DNI, Intelligence Community diketuai oleh Director of Central Intelligence yang juga menjadi Direktur CIA. Dengan adanya undang-undang tahun 2004 tersebut, DNI tidak lagi dijabat oleh Direktur CIA atau kepala dari elemen Intelligence Community lainnya. Selain itu, Direktur CIA juga diwajibkan untuk melaporkan kegiatan lembaganya kepada DNI. Sementara itu, White House Chief of Staff, pada dasarnya bertugas membantu Presiden dalam mengatur agenda dan administrasi operasional pemerintaah sehari-hari; bahkan seringkali dikatakan sebagai “quasi-prime minister”.

Kerumitan dalam jumlah aktor di luar kementrian ini juga muncul dalam kasus Inggris. Hal ini disebabkan pada tataran kebijakan, keamanan nasional di negeri itu terbagi dalam dua zona yang berbeda yaitu zona biru dan merah. Pembedaan zona ini akan mempengaruhi bobot keterlibatan dan tanggung jawab baik secara finansial maupun tanggung jawab publik di parlemen. Zona biru merupakan wilayah bagi departemen dalam negeri (Home Office) dan departemen yang baru dibentuk yaitu departemen hukum (Ministry of Justice). Secara sederhana, wilayah ini merupakan isu keamanan yang sangat kuat atmosfir kebijakan dalam negerinya. Oleh karena itu, Home Office dan Ministry of Justice merupakan institusi-institusi yang sepatutnya berperan lebih besar dalam pembuatan kebijakan dalam rangka mengatasi ancaman keamanan nasional Inggris.

Di sisi lain, zona merah merupakan ancaman keamanan yang dapat dikategorikan dalam wilayah keamanan luar negeri. Oleh karena itu, pembuatan kebijakan di level strategi dalam wilayah ini merupakan tanggung jawab dari pihak Departemen Luar Negeri (Foreign and Commonwealth Office) dan Departemen Pertahanan (Ministry of Defence). Sebagai konsekuensi logis, FCO akan bertanggung jawab dalam strategi negosiasi diplomasi dan kebijakan luar negeri, sementara MOD akan bertanggung jawab atas strategi penggunaan kekuatan militer Inggris yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut dan Udara. Sebagai tambahan, pemerintah Inggris juga mengembangkan peran dari institusi sipil seperti Department for International Development (DFID) dalam pengambilan keputusan khususnya untuk mengatasi ancaman tipe keenam (lihat uraian sebelumnya).

Pada tataran operasional, mekanisme mengatasi ancaman keamanan nasional juga terbagi dua beradasarkan tingkat urgensinya. Pada tingkatan pertama, mekanismenya terkait dengan keadaan darurat (emergency level). Dalam kondisi seperti ini ini, penangananan kendali operasionalnya akan dilakukan melalui pembentukan tim ”emas”, ”perak” dan ”perunggu” atau yang lebih dikenal dengan kendali Gold, Silver dan Bronze. Kendali Gold berperan dalam perumusan strategi operasi, kendali Silver berperan dalam perumusan taktik operasional dan kendali Bronze adalah pelaksana di lapangan. Tim kendali operasi ini merupakan tim ad-hoc yang dibentuk sesuai dengan situasi darurat yang harus dihadapi. Pada tingkatan kedua, mekanismenya bertolak dari kondisi normal. Pada kondisi seperti ini ancaman keamanan nasional akan kembali dibedakan dalam zona biru dan zona merah. Setiap zona setidaknya akan mencakup aktivitas operasional intelijen dan operasional aktor keamanan. Zona operasional biru akan berada di bawah tanggung jawab Home Office dan zona operasional merah akan berada di bawah tanggung jawab FCO dan MOD.

Dalam aktivitas operasi intelijen, Inggris kembali membagi institusi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan aktivitas tersebut dalam beberapa kategori berdasarkan aturan dalam Security Service Act 1989 dan Intelligence Services Act 1994. Kategori pertama berkaitan dengan aktivitas pengumpulan data data intelijen (intelligence gathering) serta kegiatan counter-intelligence. Kategori kedua adalah aktivitas analisa data intelijen dan yang terakhir terkait dengan pusat informasi dan komunikasi. Kategori pertama kembali dipecah dalam zona biru dan merah. Zona biru tetap dalam wilayah tanggung jawab Home Office dan/atau Ministry of Justice yang baru saja dibentuk oleh pemerintah dalam rangka restrukturisasi Home Office. Institusi yang bertugas menjalankan fungsi dalam kategori ini adalah Security Service atau yang lebih dikenal dengan nama MI-5. Untuk zona merah, aktivitas pengumpulan data intelijen dan counter-intelligence dilakukan oleh Secret Intelligence Service (SIS) atau yang lebih dikenal dengan nama MI-6. Secara struktural dan finansial, SIS berada di bawah kementerian luar negeri (FCO). Dalam operasi militer, aktivitas kategori ini dalam zona merah akan dilakukan oleh Defence Intelligence Staff (DIS) yang berada langsung di bawah MOD.

Kategori kedua lebih berkaitan dengan analisa intelijen yang dapat digunakan bagi kepentingan Inggris. Pada umumnya institusi-institusi intelijen di atas juga melakukan aktivitas analisa intelijen. Tetapi dengan meningkatnya ancaman keamanan terorisme, pemerintah Inggris membentuk Joint Terrorism Analysis Centre (JTAC) yang berdasarkan lingkup kerjanya berada di bawah struktur Home Office. Selain kategori pertama dan kedua intelijen ini, Inggris juga memiliki Government Communication Headquarters (GCHQ) yang berfungsi sebagai pusat informasi dan komunikasi. Tugas utama lembaga ini adalah melakukan intersepsi komunikasi terutama untuk dapat mengidentifikasi serangan teroris dan pencegahan kejahatan kriminal serius lainnya. GCHQ berada di bawah tanggung jawab FCO. Sebagai pusat kegiatan intelijen, sekaligus koordinasi antar institusi intelijen dalam tiga kategori tersebut, Inggris membentuk Joint Intelligence Committee (JIC) yang diketuai oleh Permanent Secretary for Intelligence, Security and Resilience. JIC beranggotakan seluruh ketua lembaga intelijen yang ada di Inggris dan pejabat senior dari departemen terkait seperti Home Office, FCO, MOD, HM Treasury serta Department of Trade and Industry.

Seperti yang teah disebutkan, Kementrian Dalam Negeri (Home Office) telah memiliki peran besar dalam penanganan keamanan dalam negeri di Inggris. Untuk melakukan peran tersebut, terdapat tiga cabang kementerian yang berada dalam Home Office yaitu cabang kementerian yang bertanggung jawab atas keamanan, counter-terrorism dan kepolisian, kementerian yang bertanggung jawab atas hukum dan upaya pengurangan tindak kriminalitas, serta kementerian yang bertanggung jawab atas imigrasi dan pencari suaka. Selain itu Home Office juga memiliki tiga institusi pendukung lainnya, yaitu beberapa institusi eksekutif, berbagai inspektorat independen dan ombudsman serta berbagai agensi publik non departemen lainnya. Beberapa institusi keamanan penting yang berada di tingkatan operasional di bawah Home Office adalah Polisi, Her Majesty’s Revenue and Custom, Her Majesty’s Prison Services serta Serious Organised Crime Agency (SOCA).

VI. Koordinasi Antar Aktor Keamanan Nasional

Beragamnya aktor keamanan nasional dengan spesialisasi fungsi yang berbeda tentu saja telah memunculkan kebutuhan untuk melakukan koordinasi. Studi yang dilakukan menujukkan bahwa hampir semua negara yang menjadi kajian studi ini memiliki mekanisme koordinasi. Meski demikian terdapat variasi dalam melakukan mekanisme koordinasi tersebut. Secara sederhana ada dua pola mekanisme koordinasi yang dapat diidentifikasikan. Pertama, mekanisme koordinasi melalui pembentukan Dewan Keamanan Nasional (National Security Council). Kedua, melalui mekanisme koordinasi yang bersifat ad-hoc antar institusi birokrasi yang menangani masalah keamanan nasional. Negara-negara yang dapat dikategorikan dalam pola pertama misalnya adalah Amerika Serikat, India, Malaysia dan Israel. Sedangkan untuk pola kedua diwakili oleh Inggris dan Australia. Meski demikian perlu pula dicatat bahwa terdapat juga variasi di dalam peran NSC bahwa diantara negara-negara yang memiliki Dewan Keamanan Nasional.

Dalam kasus Amerika Serikat, Dewan Keamanan Nasional National Security Council (NSC) negeri itu merupakan lembaga koordinasi utama Secara kelembagaan, NSC merupakan bagian dari Executive Office of the President. Secara historis, lembaga ini baru dibentuk pada tahun 1947 melalui National Security Act (PL 235-61 Stat. 496; U.S.C. 402), yang diamandemen melalui National Security Act Amendment of 1949 (63 Stat. 579; 50 U.S.C. 401 et seq.). Di tahun 1949, sebagai bagian dari Reorganization Plan, NSC ditempatkan di bawah kekuasaan eksekutif Presiden AS. Fungsi NSC pada dasarnya adalah memberikan saran dan membantu Presiden AS dalam isu kebijakan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. NSC juga berperan sebagai instrument utama Presiden dalam mengkoordinasikan berbagai kebijakan dari berbagai instansi pemerintah. Kegiatan operasional NSC sehari-harinya menjadi tanggungjawab National Security Advisor. Namun di saat kritis, NSC yang akan menjalankan Situation Room pada Gedung Putih.

Israel juga memiliki Dewan Keamanan Nasional. Meski demikian perannya tampak tidak terlalu siginifikan. Di Israel dinamika politik domestik sangat mempengaruhi perumusan kebijakan keamanan nasional. Seperti diketahui lebih dari dua dasawarsa terakhir, Perdana Menteri di Israel tidak bisa membangun kabinet tanpa melakukan koalisi. Ciri semacam ini mengakibatkan kursi kabinet merupakan representasi dari real politics yang terjadi di negeri itu dan seringkali muncul pos-pos yang sebenarnya tidak dibutuhkan demi membangun koalisi tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut sejak tahun 1999 telah dibentuk dibentuk Dewan Keamanan Nasional yang bertugas membantu PM dalam merumuskan kebijakan keamanan. Namun perannya tidak signifikan karena PM biasanya lebih memperhatikan penasehat pribadinya. Dephan sendiri lebih berperan dalam fungsi perencanaan politik-militer dan bukan dalam perumusan kebijakannya. Peran mereka dalam pengambilan kebijakan sangatlah jauh jika dibandingkan dengan peran tentara Israel.

Hampir mirip dengan Israel, India juga memiliki Dewan Keamanan Nasional. Namun Dewan Keamanan Nasional negeri ini baru terbentuk pada tahun 1999. Hal ini mengakibatkan perannya sebagai pemberi masukan bagi pembuatan kebijakan keamanan nasional belum terlembaga dengan baik dan masih sangat terbatas. Karena itu pembentukan Dewan Keamanan Nasional satu dasawrsa yang lalu diharapkan dapat menghilangkan tradisi pengkoordinasian untuk menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional di India. Tradisi pengkoordinasian itu sebagian besar masih bersifat reatif dan taktikal, yang dilembagakan melalui konsultasi informal antara Perdana Menteri dengan partai yang berkuasa, militer dan para pakar non-pemerintah. Sementara dalam kasus Malaysia, saluran formal bagi aktor-aktor keamanan untuk berpatisipasi dalam pembuatan/perumusan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu kemanan juga dilakukan melalui mekanisme Dewan Keamanan Nasional. Yang unik dari kasus Malaysia adalah selain di tingkat nasional, terdapat juga beberapa komite keamanan yang tersebar di setiap tingkatan baik negara bagian maupun distrik. Seperti halnya pada tataran nasional, komite-komite keamanan di tingkat negara bagian dan sitrik juga melibatkan perwakilan dari militer dan kepolisian guna membahas isu-isu sosial ekonomi yang berkaitan dengan keamanan, seperti masalah imigran gelap, pembalakan hutan, dan proyek-proyek pembangunan.

Inggris dan Australia sangat berbeda dengan empat negara lainnya. Kedua negeri ini tidak memiliki suatu institusi khusus sebagai mekanisme penyelenggaraan keamanan nasionalnya. Inggris lebih memilih menggunakan mekanisme ad-hoc yang menggantungkan keberhasilan prosesnya kepada kerja sama antar institusi yang sudah ada dengan membentuk komisi atau tim khusus untuk mengatasi isu keamanan nasionalnya. Setiap komisi diketuai oleh institusi yang paling berkepentingan sesuai dengan karakter ancaman keamanannya, tetapi tim yang sama dianggotai oleh ketua dan/atau perwakilan senior dari institusi departemen atau institusi keamanan lainnya. Dengan demikian koordinasi dan kerja sama dapat dibangun untuk secara komprehensif mengatasi setiap tipe ancaman terhadap keamanan nasional Inggris. Mirip dengan Inggris, Australia juga tidak memiliki institusi yang disebut dengan Dewan Keamanan Nasional. Ini tidak berarti tidak terdapat koordinasi di antara aktor keamanan nasional. Kebijakan koordinasi di antara aktor keamanan nasional itu dilakukan melalui apa yang disebut dengan Dewan Eksekutif Federal (Federal Executive Council).

VII. Penutup

Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan dari studi ini. Pertama, kehadiran negara merupakan sebab awal dari lahirnya pengertian keamanan nasional. Sebagai suatu konsep, keamanan nasional sesungguhnya dimaksudkan untuk menjaga keutuhan tertorial dan kelangsungan hidup bangsa dan negera. Kedua, terdapat variasi antara suatu negara dengan negara lainnya dalam hal mengidentifikasikan sumber ancaman utama terhadap keamanan nasional. Variasi tersebut tampaknya kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan dalam perjalanan historis, letak geografis, dinamika lingkungan strategis, karaketristik sosial maupun kapabilitas dari negara-negara tersebut.

Ketiga, walau terdapat variasi antara satu negara dengan lainnya, temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa setiap negara mengidentifikasikan ancaman terhadap keamanan nasionalnya secara multidimensional. Artinya, ancaman itu dipersepsikan dapat berupa ancaman militer dan non-militer, tradisional dan non-tradisional, berasal dari luar (eksternal) dan dari dalam (internal) serta dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Keempat, tanggung jawab untuk keamanan nasional dibebankan pada negara yang dijalankan melalui berbagai instansi-instansi pemerintah. Dengan kata lain, aktor-aktor non-negara tidak memiliki mandat untuk mengemban tanggung jawab keamanan nasional. Kelima, terdapat diferensiasi aktor keamanan baik pada tataran perumusan kebijakan maupun pada tataran implementasi. Diferensiasi aktor ini juga diiringi dengan spesialisi fungsi. Dalam kaitan ini studi ini medapatkan temuan bahwa derajat difefernsiasi aktor dan derajat spesialiasi fungsi semakin tinggi pada negara-negara yang lebih maju sperti ditunjukkan pada kasus di Amerika Serikat dan Inggris. Keenam, adanya keragaman aktor berikut fungsi yang semakin terspesialiasi dari aktor keamanan serta ancaman yang multidimensional telah melahirkan adanya kebutuhan untuk melakukan koordinasi. Meski demikian tanggapan terhadap kebutuhan untuk melakukan koorinasi telah melahirkan dua tipe kordinasi. Tipe pertama adalah melalui regulasi formal yaitu dengan melahirkan institusi yang disebut dengan Dewan Keamanan Nasional seperti tampak dalam kasus Amerika Serikat, India, Malaysia, dan Israel. Tipe kedua adalah dengan mengandalkan mekanisme kerjasama yang dibentuk secara ad-hoc antar institusi birokrasi yang menangani keamanan nasional seperti yang terlihat dalam kasus Inggris.