Penataan manejemen pertahanan dan keamanan negara menuju Negara Modern
Oleh : DR. Kusnanto Anggoro
Penataan manajemen “pertahanan dan keamanan negara” merupakan pengorganisasian segenap format (struktur dan fungsi) penyelenggaraan pemerintahan untuk mempertahankan dan melindungi “kepentingan dan tujuan nasional” negara itu. Dalam konteks seperti itu, globalisasi telah membawa sejumlah tantangan baru, baik dari sisi ancaman yang dihadapi maupun bagaimana menghadapinya. Kerangka teoretik dan pewacanaan tentang apa yang disebut sebagai ancaman itu sendiri mengalami multidimensionalisasi karakter, proliferasi jenis dan deteritorialisasi sumber. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maupun, interdependensi dalam kehidupan antar-negara, dan liberalisasi hubungan internasional menimbulkan kontraksi terhadap batas-batas negara nasional. Dalam suasana seperti itu dapat dipastikan jika negara menanggung beban yang semakin berat. Negara modern, sebagai penyelenggara otoritas negara yang dibangun berdasarkan spesialisasi fungsi dan diferensiasi struktur, bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip dan praktek (practices) pemerintahan demokratik (democratic government), dan mengabdi untuk kepentingan publik (masyarakat) maupun kepentingan negara itu sendiri menghadapi tantangan serius dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional (national security policy).
Globalisasi, negara teritorial dan keamanan nasional
Globalisasi dan keamanan mempunyai relasi yang amat kompleks. Ancaman bukan hanya ancaman militer tetapi juga non-militer; tidak hanya berasal dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri; tidak saja dilakukan oleh pelaku negara, tetapi juga non-negara. Sebab itu globalisasi dan ancaman mempunyai relasi yang kompleks dan meliputi spektrum continuum external-internal, militer-nonmiliter, negara-nonnegara. Watak perang menjadi semakin total (total war). Peperangan fisik bisa saja berubah menjadi non-attritive atau decisive-war atas sasaran-sasaran strategis (center of gravity) dan oleh sebab itu diperlukan postur pertahanan yang lebih ramping. Namun beragam ancaman non-konvensional mungkin justru menyebabkan kemungkinan perampingan postur itu perlu dibarengi dengan penggunaan teknologi dan pelaksanaan fungsi-fungsi intelijen militer sekalipun bisa jadi tidak dalam kerangka persiapan operasi militer.
Faktor teknologi dan kemudahan perpindahan aktor (population movements) secara langsung membawa implikasi pada konstraksi tapalbatas (fisik maupun non-fisik, atau dalam terminologi politik, kedaulatan teritorial dan kedaulatan otoritatif). Ceteris paribus, tantangan konstraksi tapalbatas itu membawa konsekuensi pada menyusutnya waktu-tanggap (time response), peringatan dini (early warning) sehingga oleh karenanya meniscayakan kesiagaan (readiness) untuk setiap saat dapat menghadapi eskalasi. Kesiagaan dan kapasitas (capability) menjadi kunci bagi negara untuk dapat menunaikan fungsinya sebagai otoritas yang efektif (effective state).
Selain itu, perlu diingat bahwa perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh negara-bangsa, ancaman terhadap keamanan nasional, berasal bukan hanya dari sesuatu yang memiliki dimensi teritorialitas (eksternal, internal) dan dilakukan oleh pelaku yang terorganisasi (negara maupun non-negara), tetapi juga dari non-territorial, non-organised actors. Kategori yang disebut pertama dapat melliputi bukanhanya invasi dan agresi dari negara lain, tetapi juga terorisme dan berbagai bentuk kejahatan terorganisasi (organized crimes). Kategori yang disebut belakangan dapat meliputi beberapa bentuk ancaman, antara lain epidemi dan bencana alam.
Format pertahanan dan keamanan negara yang ideal, dalam suasana seperti itu, disusun dengan memperhitungkan beberapa hal. Pertama adalah adanya kebijakan komprfehensif. Ruang lingkup referent object meliputi keutuhan wilayah, otoritas negara, dan keselamatan warganegara. Masih dapat diperdebatkan bagaimana memasukkan referent objects tersebut ke dalam rumusan-rumusan yang lebih kategoris. Salah satu persepektif menawarkan rumusan itu untuk meliputi, misalnya, pertahanan [eksternal], keamanan negara, keamanan publik, dan keamanan insani (human security). Perspektif lain mengidentifikasinya menjadi keamanan luar negeri, keamanan penyelenggaraan fungsi pememrintahan dalam negeri, keamanan publik dan keamanan insani.
Kedua, seperti bidang penyelenggaraan pemerintahan yang lain, kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan negara tidak terlepas dari keharusan untuk memenuhi kriteria tertentu. Segenap bagian dari hirarki kebijakan demokratik mulai dari pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, sampai pelaksana kebijakan harus memenuhi beberapa prinsip, antara lain akuntabilitas, transparensi dan partisipasi publik dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, peaceful resolution of dispute. Ini terutama terkait dengan normalcy (situasi damai atau genting) yang ditetapkan berdasarkan keputusan politik. Khususnya kebijakan di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang pelaksanaannya dapat menggunakan instrumen koersif (hukum ataupun senjata), strategi penanganan ancaman terhadap keamanan nasional harus dilakukan sesuai dengan norma-norma hubungan internasional, khususnya yang terkait dengan prinsip-prinsip un-necessary suffering, proportionalitas atau yang lain yang kerap digunakan sebagai pijakan penggunaan instrumen koersif.
Konsekuensi dari kompleksitas globalisasi itu bermuara pada keharusan untuk membangun format kebijakan komprehensif di bidang keamanan nasional. Namun perlu dicatat bahwa komprehensi itu tidak boleh dikacaukan dengan totalitas keamanan sektoral yang dalambeberapa tahun belakangan ini juga muncul dalam berbagai istilah seperti keamanan ekonomi (economic security), keamanan lingkungan (environment security), keamanan kesehatan (health security) dan keamanan energi (energy security). Kecuali sudah hampir membawa konsekuensi fisik, ancaman-ancaman sektoral tersebut tetap berada dalam ranah tanggungjawab departemen fungsional.
Ancaman terhadap keamanan nasional dan strategi terdiferensiasi
Menjadi persoalan semantik apakah kemudian akan digunakan istilah ”keamanan nasional” atau ”pertahanan keamanan negara”. Dengan pendefinisian yang memadai tidak pula tertutup kemungkinan untuk menafsirkan ”pertahanan dan keamanan negara” sebagai istilah lain bagi keamanan nasional ataupun pertahanan keamanan negara. Atribusi ancaman yang dapat dikategorikan sebagai tantangan terhadap keamanan nasional adalah segala sesuatu yang dapat membawa konsekuensi kerugian fisik atau mengandung dimensi [kemungkinan penggunaan] tindak kekerasan maupun yang melumpuhkan critical infrastructure khususnya di bidang pertahanan dan perekonomian.
Perdebatan yang berlangsung dalam beberapa tahun belakangan ini tidak lagi berkisar pada perlu atau tidaknya kebijakan komprehensif di bidang keamanan nasional, melainkan tentang bagaimana komprehensi kebijakan itu dapat dituangkan ke dalam kebijakan pengelolaan, strategi pengelolaan, dan strategi operasionalnya. Rumusan-rumusan yang sering dibicarakan di berbagai forum cemderung memberi label ”komprehensif” pada kebijakan maupun strategi. Akibatnya muncul istilah kebijakan komprehensif dan/atau strategi komprehensif yang memang dapat digunakan pada tingkat nasional (pemerintah, presiden, kabinet) tetapi tidak dapat digunakan pada tataran pengelolaan fungsional (departemen pemerintahan), apalagi pada tataran pelaksanaan di kalangan instansi pelaksana seperti TNI dan POLRI. Lazimnya, instansi-instansi pelaksana seperti itu harus menggunakan istilah strategi operasional.
Oleh sebab itu, perwujudan kebijakan komprehensif ke dalam strategi operasional tampaknya bersifat diferensiatif. Diferensiasi itu diperlukan karena beberapa pertimbangan. Pertama, ancaman dapat saja menimpa seluruh atau hanya beberapa dari referrent object (keutuhan wilayah, kedaulatan, dan keselamatan segenap bangsa). Namun perlu diingat bahwa invasi dari luar, misalnya, merupakan ancaman terhadap wilayah dan otroritas negara tetapi belum tentu terhadap warganegara. Sebaliknya, epidemi dan bencana alam merupakan ancaman terhadap warganegara tetapi tidak serta merta menjadi ancaman terhadap otoritas negara dan bukan merupakan ancaman terhadap wilayah negara. Sementara itu, ancaman terhadap critical infrastructure merupakan ancaman yang tidak mengacnam wilayah, dan sulit begitu saja dimaksukkan dalam kategori kedaulatan ataupun menimbulkan dampak langsung terhadap keselamatan segenap bangsa, namun dapat melumpuhkan fungsi normal penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, sekuritisasi harus dihindari. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara dan/atau terhadap critical infrastructure, khususnya di bidang pertahanan dan perekonomian negara. Kriteria dampak memperhitungkan kerugian fisik (wilayah, kedaulatan negara) dan/atau potensi terhadap pelumpuhan fungsi pemerintahan normal. Di antara keduanya harus ada kesepakatan dasar bahwa isu keamanan hanya akan ditangani oleh aktor militer dan polisi jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi non-kekerasan. Hanya otoritas politik yang memiliki kewenangan untuk memutuskan gradasi ancaman seiring dengan eskalasi itu. Ketiga, harus ada kejelasan antara upaya yang ditempuh dengan tujuan yang hendak dicapai. Strategi nasional harus merujuk upaya-upaya itu secara menyeluruh, misalnya rentangan yang mencakup beberapa sekuens, mulai dari pencegahan hingga penindakan. Tujuan yang hendak dicapai dari setiap upaya itu perlu dirumuskan secara jelas. Untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi seperti itu, negara yang efektif dan responsive, harus membangun kemampuan nasional yang dapat menunaikan fungsi tanggapan dini, pencegahan dini, penindakan, dan khususnya pada masa pasca-ancaman melakukan pemulihan (stabilisasi, rehabilitasi serta rekonstruksi). Instrumen bisa merentang dari keijakan pemerintahan secara sektoral, politik dan diplomasi, counter-intelligence, penegakan hukum, operasi militer. Keempat adalah perlunya kejelasan tanggungjawab politik maupun operasional penyelenggara. Indonesia selama ini mengenal istilah darurat sipil, darurat militer dan darurat perang – istilah yang tampaknya disusun berdasarkan kewenangan institusional, mulai dari penyelenggara pemerintah secara normal, penegakan hukum, hingga operasi militer. Status pemerintahan berdasarkan pada ancaman terhadap keaamanan insani, misalnya yang terjadi karena bencana alam dan epidemi. Tindakan darurat baru dapat dilakukan jika bencana itu dianggap mengganggu fungsi pemerintahan normal. Mungkin perlu ditambahkan tentang darurat bencana untuk merangkum ancaman epidemik dan/atau bencana alam. Tertib sipil, istilah yang sering digunakan di berbagai kesempatan tetapi tidak memiliki rujukan hukum, perlu didefinisikan sebagai keadaan normal.
Pengelolaan pertahanan keamanan negara secara demokratik
Makalah ini tidak ingin memasuki ranah perdebatan tentang apa yang dimaksud dengan negara modern. Berbagai kajian sebelumnya juga tidak menggunakan istilah yang sama. Istilah negara modern mungkin cukup memadai jika ditafsirkan untuk kepentingan praktis sebagai negara demokratik, negara yang bukan hanya hirau tentang keselamatan wilayah dan otoritas negara tetapi juga kepentingan warganegara; Negara modern, dalam konteks pertahanan dan keamanan negara, adalah negara yang bertumpu pada kebijakan komprehensif tetapi melaksanakannya secara terukur, terarah dan terkendali baik dari segi sumberdaya, instrumen, maupun implikasi dan akibat dari perbuatannya. secara managerial, negara modern merupakan negara yang bukan hanya efektif (effective state) tetapi juga sekaligus negara yang tanggap (responsive states).
Untuk memenuhi keniscayaan tersebut perlu diperhatikan beberapa prinsip. Pertama, adalah diferensiasi struktur sebagai mekanisme pengaturan kelembagaan untuk membangun kebijakan yang memadai dan sekaligus juga menjamin pertanggungjawaban politiknya . Diferensiasi struktur seperti itu pada umumnya muncul dalam bentuk pembagian kewenangan fungsional antar departemen pemerintahan yang masing-masing bertanggungjawab untuk sektor kebijakan tertentu. Mereka memiliki kewajiban untuk merumuskan kebijakan di bidang pembinaan, pengembangan dan penggunaan sumberdaya di lingkungan mereka. Departemen-departemen pemerintahan yang merupakan inti dari kebijakan pertahanan dan keamanan negara adalah departemen dalam negeri, departemen luar negeri dan departemen pertahanan.
Pada tataran operasional, diferensiasi fungsi kebijakan itu muncul dalam bentuk spesialiasi fungsi operasional, sebagai prinsip kedua. Pada umumnya spesialisasi fungsi operasional ini muncul dalam bentuk instansi-instansi pelaksana kebijakan seperti BIN, POLRI, TNI. Mereka adalah instansi yang memiliki kompetensi untuk menggunakan instrumen khusus untuk menjalankan kewajibannya, misalnya analisa intelijen (BIN), hukum (POLRI), dan senjata (TNI). Pimpinan instansi pelaksana bertanggung jawab untuk menentukan strategi dan taktik operasi pelaksanaan itu. Kalaupun dalam melaksanakan tugas operasional itu mereka melakukan beberapa fungsi taktis (operasi intelijen, operasi penegakan hukum, operasi militer) harus dalam bingkai tujuan terbatas seperti peringatan dini, tempur, penegakan hukum, dan tempur. Sebab itu dapat dibedakan antara fungsi operasi peringatan dini yang dilakukan oleh, misalnya Departemen Dalam Negeri atau BIN. Begitu pula halnya dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi pamong praja, POLRI atau TNI.
Prinsip ketiga adalah pertanggunggugatan atas anggaran, pemanfaatan sumberdaya nasional, dan kinerja instansional dalam melaksanakan tugasnya. Pertanggunggugatan tersebut meliputi pertanggunggugatan di bidang anggaran, kebijakan, penggunaan sumberdaya dan profesionalisme aparat pelaksana sesuai dengan beberapa ukuran, misalnya koherensi (kebijakan), efisiensi (alokasi dan penggunaan anggaran), dan/atau hukum internasional maupun etika profesi. Untuk memenuhi keharusan tersebut perlu dibangun mekanisme pengawasan (oversights) dan/atau kendali (control) yang tidak hanya bersifat internal tetapi juga eksternal. Barangkali dapat dipertimbangkan mekanisme anggaran khusus, berbeda dari struktur program anggaran pada situasi normal, untuk menyeimbangkan kebutuhan operasi aktor keamanan untuk menggelar operasi secara cepat dengan kebutuhan transparansi dan akuntabilitas alokasi dan penggunaan anggaran.
Penyelenggaraan sistem keamanan nasional
Sistem keamanan nasinoal merupakan keseluruhan dari struktur yang mengemban fungsi-fungsi tertentu (specific) berdasarkan tatakerja yang baku, reguler, dan terencana secara rinci yang memungkinkan negara untuk secara sah menggunakan instrumen koersif secara sistematik dan terorganisir. Dengan demikian, sistem keamanan nasional digunakan oleh negara untuk mengatasi ancaman-ancaman pertahanan negara dan/atau keamanan dalam negeri yang nyata-nyata atau potensial melibatkan penggunaan instrumen koersif. Selain itu, mekanisme dan prosedur kerja keamanan nasional perlu juga dikembangkan dengan memperhatikan fungsi-fungsi keamanan yang akan diutamakan digelar di tiap-tiap tingkatan eskalasi. Fungsi-fungsi keamanan tersebut meliputi fungsi peringatan dini, cegah tangkal, penindakan, pemulihan, dan stabilisasi.
Setiap departemen fungsional tentu dapat merumuskan secara lebih rinci. Di bidang pertahanan negara, misalnya, mungkin pembedaaan cukup dilakukan atas penangkalan dan penindakan. Fungsi stabilisasi, jika ada, merupakan fungsi khusus yangtidak iinheren dalam fungsi normal tetapi lebih terkait dengan keadaan darurat. Intelijen dan departemen-departemen yang tidak memiliki imstrumen koersif dapat memilahnya menjadi peringatan dini, cegah tangkal dan penindakan dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan penindakan itu tidak boleh melebihi kewenangan fungsional yang melekat dalam departmennya.
Khususnya di bidang pertahanan dan keamaan negara, Indonesia memiliki empat instansi operasional. Pilar pertama adalah pemerintahan daerah yang terutama ditopang oleh unit-unit kesatuan bangsa yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri, serta polisi pamong praja yang berada di bawah kendali Kepala Daerah. Pilar kedua adalah POLRI yang secara nasional dipecah dalam organisasi kepolisian yang memiliki jalur komando vertikal dari provinsi hingga desa. Jalur komando vertikal ini juga diperkuat oleh kekuatan paramiliter POLRI (Brimob) yang dapat difungsikan sebagai first responder untuk mengatasi gangguan ketertiban masyarakat.
Pilar ketiga adalah dinas-dinas intelijen yang tergabung dalam komunitas intelijen negara. Saat ini, Indonesia memiliki dua dinas intelijen utama, yaitu Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS). Kedua dinas intelijen ini sama memiliki tugas untuk melaksanakan seluruh lingkaran proses kerja intelijen baik ke dalam maupun luar negeri. Dua dinas intelijen ini juga ditopang oleh keberadaan komunitas intelijen di tingkat nasional dan daerah yang melibatkan beragam dinas intelijen lain, seperti intelijen militer, intelijen kepolisian, intelijen kejaksaan, unit-unit kesatuan bangsa, serta Lembaga Sandi Negara. Pilar keempat adalah TNI. Saat ini, postur pertahanan Indonesia menunjukkan bahwa kapabilitas militer TNI lebih ditujukan untuk menangani masalah-masalah internal dan mengandalkan keberadaan jaringan teritorial AD.
Dua persoalan yang perlu dikembangkan adalah, pertama, mekanisme pengambilan keputusan tentang pengerahan dan penggunaan kekuatan koersif, khususnya dalam keadaan darurat; dan, kedua, kesiapan dan kemampuan institusi yang pada umumnya memang dirancang untuk menghadapi keadaan yang normal atau dapat diperkirakan sebelumnya, tetapi belum tentu dapat memenuhi kebutuhan untuk saat-saat tertentu. Prinsip ini kedaruratan ini perlu dikembangkan mengingat masalah-masalah keamanan nasional dapat bereskalasi dari situasi normal ke situasi perang. Eskalasi konflik ini dapat terjadi untuk lima tingkatan eskalasi, yaitu situasi normal, krisis, konflik terbuka/perang, situasi pemulihan, dan stabilisasi. Mekanisme dan prosedur kerja tersebut dapat dikembangkan dengan menetapkan keadaaan darurat yang berbeda-beda untuk masing-masing tingkat eskalasi konflik. Penetapan keadaan tertib sipil, darurat, sipil, darurat militer, dan darurat perang perlu dirumuskan secara rinci untuk memperjelas perluasan dan normalisasi peran negara.
Subyektivitas dari kondisi darurat itu sendiri menyebabkan bahwa kewenangan untuk itu tidak boleh begitu saja hanya diberikan kepada pimpinan instansi pelaksana. Pengaturan tentang aktor keamanan nasional juga harus dapat secara tegas memisahkan antara pejabat politik pemegang tanggung jawab politik dengan pimpinan instansi keamanan nasional yang merupakan pejabat karir dan memegang tanggung jawab operasional. Setiap instansi keamanan nasional dipimpin oleh seorang pejabat karir yang berasal dari lingkungan dalam instansi tersebut. Pimpinan instansi keamanan nasional ini adalah Panglima TNI, Kapolri, Kepala/Ketua lembaga koordinasi intelijen nasional, para kepala dinas-dinas intelijen yang tersebar di berbagai instansi, dan para kepala/ketua unit di departemen teknis yang terkait dengan penanganan isu keamanan nasional. Seluruh pimpinan instansi tersebut merupakan pemegang tanggung jawab operasional yang memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan kebijakan keamanan nasional.
Persoalan kedua terkait dengan kontraversi antara iddle capacity TNI. Seperti lajim diketahui, tugas pokok TNI adalah untuk menghadapi ancaman bersenjata; dan sepetti diketahui ancaman bersenjkata tidak muncul setiap saat. Pada saat yang sama, pembinaan, pengemangan TNI sendiri memerlukan biaya mahal. Di lain piak, dalamkeadaan tertentu tidak mustahil jika instansi-instansi pelaksana, karena sesuatu danlain hal, tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengahdapi ancaman yang terjadi. Dalam keadaan seperti itu negara mempunyai otoritas untuk dapat menggunakan TNI. Hingga kini kemungkinan seperti ini belum cukup diatur dalam segenap pertauran yang ada.
Sebab itu ada dua masalah yang perlu dibicarakan secara serius dan kemudian menjadi bagian penting dari sebuah sistem keamanan nasional. Pertama adalah tentang Dewan Keamanan Nasional. Dalam pengelolaan sistem keamanan nasional, Presiden dibantu oleh Dewan Keamanan Nasional (DKN). DKN merupakan perangkat kepresidenan yang berfungsi membantu Presiden untuk: (1) menentukan masalah-masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah keamanan nasional; (2) merekomendasikan alternatif kebijakan dalam menangani masalah keamanan nasional tersebut; dan (3) memberi pertimbangan kepada presiden tentang keadaan darurat maupun opsi strtategis dan operasi pelaksanaannya. Berdasarkan rekomendasi kebijakan yang dibuat oleh DKN, Presiden dapat menggunakan institusi-institusi yang sudah ada (seperti TNI, POLRI, lembaga-lembaga intelijen, dan departemen-departemen) untuk menangani masalah keamanan nasional. Jika diperlukan Presiden dapat jua membentuk unit pelaksana operasi keamanan nasional (executing agencies) yang bersifat ad hoc.
Yang kedua adalah tentang tugas perbantuan TNI, bukan tugas pelibatan seperti istilah yang digunakan dalam drfat RUU Keamanan Nasional yang disusun oleh Departemen Pertahanan. Tugas semacam itu dapat terdiri dari, misalnya, tugas kemanusiaan, tugas kegiatan sosial kemasyarakatan, tugas pemberian bantuan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban umum, serta tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semuanya harus ditafsirkan dalam konteks penggunaan iddle capacity TNI untuk membantu masyarakat dan/atau memperkuat [kemampuan dan/atau kesiagaan] instansi non-militer (pemerintah daerah, POLRI). Karena itu kategori penggunaan kekuatan TNI untuk tugas perbantuan ini memerlukan pengaturan khusus di bidang political judgment, regular evaluation, special command relations dan beberapa hal lain, termasuk anggaran.
Catatan penutup
Sebuah UU tentang pertahanan dan keamanan negara, atau istilah apapun yang digunakan untuk itu, sekurang-kurangnya terdiri dari bab-bab yang membahas tentang (1) Ketentuan Umum; (2) Hakikat, tujuan dan ruang lingkup keamanan nasional; (3) Prinsip-prinsip dasar strategi keamanan nasional, khususnya tentang effective dan responsive states, diferensiasi instrumen untuk menghadapi ancaman, dan komitmen pada ketentuan hukum nasional dan internasional; (4) Pengelolaan Keamanan Nasional – diferensiasi struktur untuk fungsi pembinaan, pengembangan dan penggunaan potensi; (5) Penyelenggaraan Keamanan Nasional – spesialisasi fungsi, strategi operasi penyelenggaraan, tanggungjawab instansional, dan penegasan tentang perlunya koordinasi lintas-instansi; (6) Dewan Keamanan Nasional; (7) Tugas Perbantuan TNI; (8) Anggaran; (9) Pengawasan dan kontrol; dan (10) Ketentuan transisional
Banyak persoalan yang harus diperhitungkan. Konsep, terminologi dan formulasi tentang isu yang sama saja tidak konsisten antara perundang-undangan satu dengan yang lain. Selain itu tidak juga ada hirarki yang konsisten antara kebijakan umum dengan kebijakan operasional, kebijakan pengelolaan dengan kebijakan penyelenggaraan. Kata benda strategi juga kerap kali menggunakan kata sifat yang sama, tanpa ada rujukan hirarkis yang jelas dengan kebijakan ataupun operasi. Alur dari kebijakan sampai strategi juga tidak selalu sesuai dengan hirarki instansional sehingga ada instansi pelaksana yang tidak bernaung di bawah departemen fungsional; dan sebaliknya ada departemen fungsional yang tidak secara penuh mampu menjangkau instansi pelaksana kebijakannya.
Pembahasan awal tentang sebuah rancangan undang-undang kerapkali juga mengundang reaksi yang berlebihan, distortif, atau tidak relevan karena dilandasi oleh apriori dan berbagaibentuk purbasangka. RUU tentang Keamanan Nasional, sampai pertengahan tahun 2005 tentang RUU tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, yang dirancang oleh Departemen Pertahanan tidak luput dari kecenderungan itu. Substansinya jarang dibicarakan. Perdebatan hanya terbatas pada implikasinya terhadap restrukturisasi organisasi instansi keamanan nasional, terutama tentang penempatan institusi POLRI di bawah suatu departemen tertentu; pelibatan TNI di dimensi non-pertahanan negara yang dipandang sebagai perluasan kewenangan TNI ke wilayah kerja POLRI; dan isu mengenai gelar operasi militer TNI tanpa melalui prosedur keputusan politik yang melibatkan Presiden dan DPR. Departemen Pertahanan sendiri cenderung mengedepankan kedudukannya sebagai leading sector tetapi tidak menampung suara-suara dari pihak lain. Presiden tidak memberi kata akhir, misalnya ketika terjadi silang selisih antara Menteri Pertahanan maupun Panglima TNI di satu sisi dan Kapolri di sisi lain.
DKN diketuai oleh Presiden dengan keanggotaan dari pemerintah dan non-pemerintah. Anggota DKN terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan kepala lembaga-lembaga intelijen (BIN dan lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi intelijen). Anggota-anggota DKN ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.